Liputan6.com, Kuala Lumpur - Ketika Mostafa Qadoura baru berusia seminggu, serangan Israel ke rumahnya di Jalur Gaza pada Oktober 2023 membuat dia dan tempat tidurnya terlempar ke udara, pecahan peluru mengenai mata kanannya dan membuatnya rusak parah, hingga menewaskan salah satu saudaranya.
Mostafa dievakuasi ke Mesir beberapa minggu kemudian ketika rumah sakit yang merawatnya dikepung militer Israel dan kini dia tumbuh menjadi bayi berusia 10 bulan yang ceria dan aktif dengan pipi tembam. Namun, tantangan besar menantinya.
Advertisement
Ibunya dan saudara laki-lakinya yang lain tewas dalam serangan Israel lainnya beberapa hari setelah dia dievakuasi. Mostafa sendiri akan membutuhkan serangkaian operasi untuk menyesuaikan mata buatannya seiring pertumbuhan tubuhnya.
Belum jelas apakah kapan dia akan kembali ke Jalur Gaza.
"Saya tidak tahu harus berkata apa kepadanya ketika dia dewasa," kata neneknya, Amna Abd Rabou (40), yang pada bulan April diizinkan pergi ke Mesir untuk merawatnya seperti dilansir kantor berita AP, Minggu (25/8/2024).
Amna dan Mostafa terbang ke Malaysia pekan lalu untuk menjalani operasi yang dijadwalkan pada hari Senin.
Dalam perang di Jalur Gaza yang telah merenggut nyawa ribuan anak Palestina dan melukai lebih banyak lagi, kisah Mostafa sangat menyayat hati dan dalam banyak hal, dialami pula oleh banyak keluarga di Jalur Gaza yang hancur akibat pertempuran antara Israel versus Hamas.
Mostafa adalah salah satu dari sekitar 3.500 warga Palestina, sebagian besar anak-anak, yang telah dievakuasi dari Jalur Gaza untuk perawatan medis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), keluarga-keluarga di sana telah mengajukan permintaan agar setidaknya dua kali lipat jumlah anak-anak yang terluka dievakuasi.
Lebih dari 12.000 anak telah terluka dalam perang di Jalur Gaza, menurut pejabat kesehatan Palestina, dan kelompok-kelompok bantuan mengatakan banyak dari mereka yang tidak diizinkan meninggalkan Jalur Gaza menghadapi hasil kesehatan yang jauh lebih buruk daripada Mostafa.
"Kami bertemu dengan anak-anak yang hidupnya tergantung pada 'seutas benang' karena cedera perang atau ketidakmampuan mereka untuk menerima perawatan medis untuk kondisi seperti kanker," kata juru bicara UNICEF Tess Ingram.
Lebih banyak evakuasi medis, tegas Ingram, akan menyelamatkan nyawa dan memperbaiki masa depan anak-anak yang terluka.
"Namun, yang terpenting, kita membutuhkan gencatan senjata. Itulah satu-satunya cara untuk menghentikan pembunuhan dan mutilasi anak-anak."
Sejak 7 Oktober 2023, ungkap otoritas kesehatan Jalur Gaza, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 40.200 warga Palestina dan seperempatnya adalah anak-anak.
Derita Bertubi-tubi
Amna mengatakan bahwa dia akan merawat Mostafa sebagaimana janjinya kepada mendiang putrinya.
Setelah serangan pada akhir Oktober yang menewaskan saudara laki-lakinya yang berusia 4 tahun, Ayes, dan melukai parah ibunya yang saat itu berusia 22 tahun, Halimah, Mostafa ditemukan beberapa meter dari rumah yang hancur di Jabaliya di Gaza Utara — dan masih di dalam tempat tidurnya.
Yang terjadi selanjutnya adalah kisah perpisahan yang sudah tidak asing lagi di tengah kekacauan perang, yang telah menyebabkan hampir 2 juta warga Palestina di Jalur Gaza mengungsi dari rumah mereka.
Sementara Mostafa menerima perawatan untuk mata dan dahinya yang terluka di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza, ibunya harus diamputasi kakinya di rumah sakit lain di Gaza Utara, di mana dia juga dirawat karena cedera parah di leher, dada, dan matanya.
"Keluarga di sekitar saya menyuruh saya untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan agar mencabut nyawanya untuk menghilangkan rasa sakitnya, tetapi saya katakan kepada mereka bahwa dia adalah putri saya dan saya akan merawatnya dan menjaganya sebagaimana adanya, apa pun kondisinya," kata Amna, yang saat ini meninggalkan dua anak remajanya di Jalur Gaza dalam perawatan suaminya.
Saat masih dalam tahap pemulihan dari luka-lukanya, ibu Mostafa pindah ke rumah keluarga besar di Jabaliya, tempat serangan pada 22 November menewaskan dirinya, putranya yang berusia 6 tahun, Bassam, dan 50 anggota keluarga lainnya.
Amna mengatakan dia tidak tahu apa yang terjadi pada ayah Mostafa, namun dia ingat apa yang dikatakan ibu Mostafa sehari sebelum dia meninggal.
"Dia memegang tangan saya dan mengatakan ingin bertemu Mostafa. Dia bilang dia takut tidak akan pernah bertemu dengannya lagi," kenang Amna.
Keluarga Mostafa jelas bukan satu-satunya keluarga di Jalur Gaza yang hampir musnah akibat perang.
Militer Israel mengaku mereka berusaha menghindari melukai warga sipil Palestina dan menyalahkan Hamas atas cedera dan kematian mereka karena beroperasi di daerah pemukiman padat dan terkadang berlindung dan melancarkan serangan dari rumah, sekolah, dan masjid.
Bulan ini, militer Israel mengakui telah menyerang sebuah sekolah yang diubah menjadi tempat perlindungan di pusat Kota Gaza, dengan mengklaim bahwa mereka menyerang pusat komando Hamas di daerah tersebut. Namun, pernyataan mereka tidak disertai bukti.
Advertisement