Liputan6.com, Donggala Kasus bom ikan terbaru yang terungkap terjadi di tiga kabupaten di Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Banggai, dan Morowali pada 18 dan 19 Agustus. Sebanyak 27 bom yang masing-masing dikemas dalam botol kaca ukuran 620 ml.
Tiga kasus itu membuat jumlah kasus bom ikan atau Destructive Fishing tahun 2024 hingga kini sebanyak 12 kasus, naik dibanding tahun 2023 yang total 8 kasus.
Advertisement
"Sembilan kasus di 2024 sudah mendapat putusan pengadilan," Kasubdit Gakkum Polairud Polda Sulteng, Kompol Karel Paeh mengatakan, Sabtu (24/8/2024).
Meningkatnya jumlah kasus itu menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tengah yang mencapai 1,3 juta hektare yang mencakup hampir seluruh wilayah laut Sulteng.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan, Kepala Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulteng, Agus Sudaryanto mengungkapkan bom ikan punya daya rusak yang besar terhadap ekosistem laut.
"Satu gram saja bahan peledak yang digunakan daya rusaknya terhadap ekosistem laut bisa seluas 100 meter persegi," kata Agus.
Ikan, karang, dan biota laut lainnya akan hancur dalam sekali ledakan. Celakanya pemulihan secara alami ekosistem laut yang rusak tidak mudah, terutama karang. Pun dengan transplantasi karang yang butuh waktu lama.
Agus mengakui cara menangkap ikan dengan bom masih marak dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab karena menjadi cara cepat menangkap ikan.
Berbagai soal pun menjadi tantangan menghentikan aktivitas ilegal tersebut, seperti mudahnya mendapat bahan pembuat bom, luasnya perairan laut Sulteng yang mencapai 74.452.37 km persegi, serta sinergi antarpihak terkait.