Liputan6.com, Jakarta Australia memberlakukan kebijakan yang memberi hak pada pekerja di negara itu untuk tidak menggunakan ponsel atau merespon panggilan di luar jam kerja.
Mengutip AlJazeera, Senin (26/8/2024) undang-undang tersebut merupakan respons Australia terhadap semakin kaburnya batasan antara kehidupan profesional dan pribadi seseorang di tengah meningkatnya ketergantungan pengusaha pada komunikasi digital, dan popularitas kerja jarak jauh sejak pandemi COVID-19.
Advertisement
Partai Buruh kiri-tengah Australia berharap langkah tersebut, yang diperkenalkan sebagai bagian dari paket reformasi ketenagakerjaan yang mencakup aturan baru untuk pekerjaan sambilan dan standar upah minimum, akan mengurangi tekanan pada pekerja saat mereka seharusnya beristirahat dan menghabiskan waktu dengan keluarga,
"Yang ingin kami katakan adalah bahwa seseorang yang tidak dibayar 24 jam sehari tidak boleh dihukum jika mereka tidak online dan tersedia 24 jam sehari," ujar Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese pada konferensi pers terkait undang-undang tersebut.
Tempat kerja yang melanggar undang-undang tersebut akan ditindak oleh pengadilan Komisi Pekerjaan Adil Australia dengan denda hingga 93.900 dolar Australia (Rp.982,9 juta).
Tahun lalu, rata-rata karyawan Australia melakukan rata-rata 5,4 jam kerja tanpa upah setiap pekan, sementara mereka yang berusia 18 hingga 29 tahun melakukan 7,4 jam kerja tanpa upah, menurut laporan oleh Institut Australia.
Australia bukanlah negara pertama yang memperkenalkan hak untuk memutuskan komunikasi di luar jam kerja.
Pada tahun 2017, Prancis memperkenalkan undang-undang untuk melindungi pekerja dari hukuman karena tidak membalas pesan di luar jam kerja. Jerman, Italia, dan Kanada juga telah mengadopsi kebijakan serupa.
Warga Australia Bekerja Lebih Lama dari Karyawan di Negara Maju Lain
Seorang profesor dalam ilmu Disiplin Kerja dan Studi Organisasi di Universitas Sydney, Chris Wright mengungkapkan bahwa meskipun orang Australia sering terlihat kerja keras, mereka juga bekerja lebih lama daripada orang-orang di banyak negara maju lainnya.
Wright mengutip Indeks Kehidupan Lebih Baik OECD tahun 2018, yang menemukan bahwa pekerja penuh waktu do Australia mendedikasikan 14,4 jam untuk perawatan pribadi dan bersantai setiap hari, di bawah rata-rata OECD yaitu 15 jam.
Indeks tersebut juga menemukan bahwa 13 persen karyawan Australia "bekerja sangat lama", dibandingkan dengan rata-rata OECD yaitu 10 persen.
"Ada beberapa penelitian di Australia yang menunjukkan bahwa teknologi memiliki dampak mengikis batasan antara kehidupan kerja dan kehidupan nonkerja," kata Wright kepada Al Jazeera.
"Ini selalu menjadi budaya yang menjadi ciri khas pekerjaan di Australia. Orang-orang mungkin bekerja dengan jam kerja standar, tetapi begitu mereka meninggalkan kantor setiap hari, mereka sering kali masih bekerja," bebernya. Wright juga mencatat bahwa meskipun jam kerja panjang, Australia telah mencatat pertumbuhan produktivitas yang lambat dalam dua dekade terakhir, dengan produktivitas tenaga kerja untuk seluruh perekonomian turun sebesar 3,7 persen pada tahun 2022-2023.
Advertisement
Kebijakan Baru Diharapkan Tingkatkan Produktivitas
Wright mengatakan bahwa ia berharap undang-undang hak untuk memutus hubungan kerja dapat meningkatkan produktivitas Australia dengan mendorong perusahaan untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih efisien di tempat kerja.
"Sering kali ada negara yang memiliki jam kerja yang lebih rendah, seperti Prancis dengan minggu kerja 35 jam. Itu agak dikritik tetapi sebenarnya itu merupakan faktor pendukung yang menyebabkan Prancis memiliki hasil produktivitas yang cukup baik,," kata Wright.
“Dan saya pikir undang-undang hak untuk memutus hubungan kerja akan membantu (perusahaan di Australia) berpikir lebih kreatif tentang cara bekerja lebih cerdas," bebernya.