Liputan6.com, Jakarta - Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan Hijriah setelah Muharram. Banyak yang berasumsi bahwa Safar adalah bulan sial atau bulan bencana.
Masyarakat Jawa pada umumnya beranggapan bahwa Safar adalah bulan penuh bala, terutama pada Rabu terakhir yang dikenal dengan istilah Rebo Wekasan atau Rebo Kasan dalam bahasa Sunda.
Lantas, benarkah Safar bulan penuh bencana dan Rebo Wekasan adalah hari yang akan mendatangkan bala?
Baca Juga
Advertisement
Ulama kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada istilah hari sial bagi muslim, kecuali hari itu disibukkan dengan maksiat.
"Jangan percaya bulan Safar (adalah) bulan celaka, bulan sempit rezeki. Nggak ada itu semua. Hari Allah adalah baik semuanya. Hari jelek itu adalah hari kita bermaksiat," kata Buya Yahya dikutip dari YouTube Al-Bahjah TV, Senin (26/8/2024).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kata Buya Yahya soal Rebo Wekasan
Soal Rebo Wekasan, Buya Yahya mengatakan bahwa tradisi Rabu terakhir bulan Safar didasari dari cerita orang-orang saleh yang mendapat ilham bahwa pada Rabu terakhir Safar akan turun penyakit.
Untuk menghindarinya, maka memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dan dilindungi dari penyakit tersebut.
Menurut Buya Yahya, Rebo Wekasan tidak ada dalam ajaran nabi. Namun, selama dikatakan oleh ulama dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, kata Buya Yahya tidak murni bid’ah.
“Kalau (ajaran) dari nabi tidak ada, cuma kalau udah katanya ulama selagi tidak bertentangan dengan ajaran nabi tidak bisa kita (katakan) langsung murni bid’ah,” kata Buya Yahya.
Buya Yahya menuturkan, orang saleh yang mendapat ilham boleh dipercaya dengan catatan tidak bertentangan ajaran nabi. Adapun bila ada yang tidak percaya ilham tersebut, maka jangan dicaci maki.
“Misalnya bersedekah atau salat hajat agar dijauhkan dari malapetaka, maka mengikuti ilham selagi itu tidak bertentangan syariat itu boleh,” ia mencontohkan.
Berdasarkan penjelasan Buya Yahya bahwa tradisi Rebo Wekasan bukanlah dari nabi dan rasul, tapi tidak murni bid’ah juga. Pertanyaanya, apakah boleh umat Islam percaya dengan mitos hari sialnya?
"Kaidah mempercayai ini dibahas dalam bab ilhaamat. Jika ada seorang sholeh (wali) lalu berkata tentang sebuah kejadian, maka jika omongannya itu tidak bertentangan dengan syariat, maka Anda bebas, mau dengar (percaya) boleh, mau tidak (percaya) juga boleh," jelas Buya Yahya.
Advertisement
Penjelasan Rebo Wekasan dan Ritual yang Sering Diamalkan dari Para Ulama
Dikutip dari laman NU Online, Syekh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur menjelaskan bahwa banyak para wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi (kasyaf) mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah swt menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang menentang pandangan Syekh Abdul Hamid Quds karena beranggapan bahwa tidak ada hadis nabi yang menjelaskan tentang turunnya bala di Rabu terakhir bulan shafar.
Memang ada hadis nabi yang berbunyi, "Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus)".
Namun hadis ini dhaif (lemah) dan juga bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari riwayat Abu Hurairah.
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Maka, sebagian ulama tidak sependapat dengan pandangan Syekh Abdul Hamid Quds
Sebagian ulama menganjurkan kepada umat Islam agar melakukan sholat sunnah saat Rebo Wekasan yang diniatkan sholat mutlak atau sholat hajat lidaf'il bala almakhuf (menolak bala' yang dikhawatirkan) sebanyak empat rakaat dengan bacaan surat dan jumlah yang ditentukan.
Kyai Abdul Khalik Mustaqim, Pengasuh Pondok Pesantren Al Wardiyah Jombang berpendapat bahwa dalam konteks ini sholat mutlak atau sholat hajat memang diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan oleh syara', karena mengandung hikmah yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam.