Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat adat dan kawasan hutan ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dilepaskan satu sama lain. Namun, paradigma pengelolaan hutan, khususnya yang berada di kawasan konservasi, dinilai mengedepankan konsep preservasi, pengawetan, perlindungan ekosistem beserta spesies tumbuhan dan satwa, bukan pelibatan masyarakat adat yang partisipatif. Konsekuensinya, manusia yang ada di dalamnya terusir dari rumahnya selama ini.
"Kaitannya dengan itu, konteksnya adalah apa yang kita perjuangkan selama ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat. Karena selama ini bukan hanya isu konservasi saja, tapi masyarakat adat sampai sekarang pun istilahnya tidak diakui," kata Annas Radin Syarif, Deputi Sekjen AMAN Urusan Ekonomi dan Dukungan Komunitas, dalam Forum Bumi 'Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah'di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Ia pun menyodorkan bukti sebagai penyokong dalihnya. Menurut dia, hingga saat ini belum ada data masyarakat adat yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah. Keberadaan 6000 lebih desa di sekitar dan dalam kawasan konservasi itu tidak dianggap karena manusia yang mengelola sumber daya alam juga tidak diakui.
Belum lagi soal luasan hutan adat yang masih jauh dari target. Dari target pemerintah 12 juta hektare pengalihan status hutan negara menjadi hutan adat, baru sekitar 200ribuan hektare yang benar diakui sebagai hutan adat.
"200 ribu itu masih kecil sekali. Sisanya belum, belum diakui sebagai subyek hukum, baik di dalam kawasan hutan maupun kawasan konservasi," ucapnya.
Masyarakat Adat Bantu Negara Jaga Kawasan Konservasi
Annas mengatakan mengabaikan masyarakat adat dalam upaya konservasi hanya menambah beban negara. Dalam hal ini adalah kemampuan untuk menjaga hutan dan kawasan konservasi dari ulah tangan-tangan rakus. Pasalnya, sumber daya pemerintah juga terbatas untuk menjaga kawasan konservasi seluas itu.
"Yang tumpang tindih saja ada 4,5 juta hektare, yang saya bilang conservacy by others. Padahal kalau diakui, negara sudah tidak perlu repot-repot mengatur, itu sudah konservasi gitu loh," kata dia.
"Mereka (pemerintah) ada masalah pendanaan dan sebagainya. Daripada ini, cukup diakui sistem yang ada di masyarakat," imbuhnya.
Annas mencontohkan bagaimana sinergi antara pemerintah dan masyararakat adat menghasilkan hubungan simbiosis mutualisme. Masyarakat adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah yang tinggal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu menjadi bukti bahwa keberadaan mereka bisa membantu konservasi, khususnya mengatasi pelaku illegal logging.
Masyarakat Ngata Toro memiliki sistem yang disebut Tondo Ngata yang mengatur wilayah mana yang dilindungi, terbatas, dan bisa dimanfaatkan. Mereka yang ada di dalam masyarakat adat sudah berbagi tugas untuk menjaga wilayah-wilayah itu berdasarkan fungsinya.
"Sekarang apa yang terjadi, dari pihak taman nasional nggak perlu tambah-tambah penjaga, masyarakatnya sudah jaga sendiri," kata Annas.
Advertisement
Menjadi Perpustakaan Hidup
Bahkan, Annas menyebut mereka bisa dibilang sebagai perpustakaan hidup yang memahami setiap spesies yang ada di kawasan itu. Pengetahuan soal makhluk hidup yang diperoleh dari leluhur bisa terus diwariskan ke anak cucu berikutnya bila mereka terus dilibatkan dalam pengelolaan kawasan hutan.
"Bahkan capung, dia hafal jenis capung yang ada di situ. Pohon apa lagi, cuma dengan bahasa mereka yaa. Bahasa Indonesia aja enggak. Ada ratusan jenis pohon, dia hapal, ini ini ini...," katanya.
"Tapi ketika sistem ini tidak dipakai, apalagi dilarang atau dibatasi, ya lambat laun nggak bisa. Masuk aja nggak bisa, gimana caranya menjaga itu?" sambung dia.
Contoh lain bagaimana masyarakat adat sangat penting dalam menjaga ekosistem hutan juga ditunjukkan lewat film pendek berjudul Tanah Kita yang diproduksi Samdhana Institute. Film pendek itu menyoroti masyarakat adat di Kasepuhan Cibarani, di Lebak, Banten.
Sebelum 2021, tanah ulayat yang mereka tinggali secara turun-temurun diakui menjadi wilayah Perhutani. Akibatnya, konflik kepentingan beberapa kali terjadi hingga puncaknya pada 2016, masyarakat adat yang membawa kerbau dan tidak sengaja menginjak tanah Perhutani didenda Rp5 juta.
Asal Dipindahkan, Masyarakat Adat Bisa Mati
Warga merasa tidak bebas berkegiatan, padahal selama ini hidup mereka tergantung pada alam. Mereka pula yang menjaga lingkungan sesuai petuah leluhur. Jalan panjang ditempuh untuk mengembalikan hutan negara ke masyarakat adat, hingga akhirnya pada Desember 2021, 662 hutan adat Cibarani yang dituntut, negara mengembalikan 490 hektare.
"Kalau dipasrahkan negara ke adat, tidak boleh dijual ke orang lain karena itu milik komunal," ujar Abad Dulhani, jero Kasepuhan Cibarani. Setelah status hukum hutan adat itu diperjelas, masyarakat bisa kembali mengelola hutan adat seperti cara leluhur mereka.
Annas pun mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus memperhatikan kebutuhan masyarakat adat. Walau komunitasnya kecil, tidak sebesar masyarakat urban, mereka cuma punya ruang hidup di hutan atau kawasan konservasi sehingga tidak bisa asal memindahkan.
"Kalau mau pindah, pindah ke mana? Kan susah. Walau wilayahnya sama-sama hutan, tapi kan beda, apalagi kalau dipindah ke kebun raya, mereka enggak akan hidup," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur Program Kehutanan KEHATI Samedi menyatakan bahwa sebaliknya, manusia juga harus menjaga keanekaragaman hayati. Tanpa adanya keanekaragaman hayati, tidak ada lagi masa depan untuk manusia. "Apalagi kalau semuanya punah, kita mungkin enggak ada lagi," ucapnya.
Advertisement