Liputan6.com, Rostov - Kebakaran melanda depot minyak di Rostov, Rusia, setelah serangan drone atau pesawat nirawak Ukraina.
"Serangan pesawat nirawak Ukraina telah membakar depot minyak di wilayah selatan Rusia, Rostov," kata pihak berwenang seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (29/8/2024).
Advertisement
Pada hari Rabu (28/8), Gubernur daerah Vasily Golubev mengonfirmasi serangan itu, dengan mengatakan di aplikasi pesan Telegram bahwa petugas pemadam kebakaran memadamkan api di depot di Distrik Kamensky, Rostov, tanpa ada korban yang dilaporkan.
Kementerian Pertahanan Rusia sebelumnya mengatakan unit pertahanan udara Ukraina menghancurkan empat pesawat nirawak di wilayah itu Rabu malam, tanpa menyebutkan serangan terhadap depot minyak itu.
Tiga tangki terbakar di depot minyak itu setelah dua pesawat nirawak jatuh di daerah itu, menurut saluran Telegram Baza, yang dekat dengan dinas keamanan Rusia.
Serangan Ukraina itu menandai serangan terbarunya terhadap fasilitas minyak dan gas Rusia sebagai balasan atas serangan terhadap infrastruktur energinya.
Kebakaran besar telah terjadi di fasilitas penyimpanan minyak di kota Proletarsk, Rostov, sejak 18 Agustus setelah serangan pesawat nirawak Ukraina sebelumnya sekitar 200 km (125 mil) dari perbatasan Ukraina.
Pada awal bulan Agustus, depot penyimpanan bahan bakar lain di Distrik Kamensky juga terkena serangan.
Pada saat itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memuji pasukannya karena menyerang fasilitas minyak di Rusia, dengan mengatakan serangan itu akan membantu mengakhiri konflik dengan "adil".
Kementerian Rusia juga mengatakan delapan pesawat nirawak serang dihancurkan di wilayah Voronezh, yang berbatasan dengan Ukraina, tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Alexander Gusev, gubernur Voronezh, mengatakan puing-puing dari pesawat nirawak yang diluncurkan Ukraina di wilayah itu memicu kebakaran "di dekat objek peledak", tetapi tidak ada ledakan.
Keamanan Nuklir
Sementara itu, Rusia mengatakan pada hari Rabu (28/7) bahwa mereka ingin International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Badan Energi Atom Internasional mengambil sikap yang "lebih objektif dan lebih jelas" tentang keselamatan nuklir.
Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, mengatakan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa harus bertindak "berdasarkan fakta", kantor berita negara RIA melaporkan, "memastikan keselamatan dan mencegah perkembangan skenario di sepanjang jalur bencana yang didorong oleh rezim Kyiv kepada semua orang".
Kepala IAEA Rafael Grossi mengunjungi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Kursk pada hari Selasa (27/8) di luar kota Kurchatov di wilayah Kursk, tempat pasukan Ukraina menerobos perbatasan tiga minggu lalu.
Sejauh ini pihak Ukraina belum menanggapi tuduhan Rusia bahwa mereka menyerang pembangkit tersebut. Ketika diminta oleh seorang reporter untuk mengutuk kerusakan akibat pesawat tanpa awak sebagai "provokasi nuklir" oleh Ukraina, Grossi mengatakan "menuduh" adalah sesuatu yang harus dia tanggapi "dengan sangat serius".
Grossi menyimpulkan fasilitas tersebut – model yang sama dengan pembangkit Chornobyl di Ukraina, yang menyaksikan bencana nuklir sipil terburuk di dunia pada tahun 1986 – rentan terhadap kecelakaan serius karena tidak memiliki kubah pelindung yang dapat melindunginya dari rudal, pesawat tanpa awak, dan artileri.
Garda Nasional Rusia mengklaim pada hari Rabu (28/8) bahwa pasukannya telah menjinakkan amunisi yang dipasok Amerika Serikat yang tidak meledak yang ditembakkan oleh Ukraina dan ditembak jatuh hanya 5 km (3 mil) dari pabrik Kursk.
Sejauh ini belum ada komentar langsung dari Ukraina.
Advertisement
Rusia Rekrut Warga Negara Asing Jadi Tentara, Dibayar Sekitar Rp35 Juta
Sebelumnya, Rusia kabarnya membuka lowongan tentara bayaran bagi warga negara asing. Seorang pria berusia 21 tahun asal Sri Lanka salah satu yang ikut serta dalam perekrutan tersebut.
Laporan DW Indonesia yang dikutip Minggu (25/8/2024) menyebut dia mendengar tentang kesempatan bergabung dengan militer Rusia dari sesama warga Sri Lanka. Menurutnya, setelah bertugas selama setahun, dia dan orang tuanya akan mendapatkan kewarganegaraan Rusia.
Kendati demikian, ia tidak menyangka akan dikirim ke garis depan di Ukraina setelah menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia.
"Dia memberitahu bahwa saya tidak akan dikirim ke garis depan, dan hanya akan dipekerjakan sebagai pendukung," kata pemuda itu.
Berdasarkan informasi tersebut, pemuda Sri Lanka itu segera menandatangani kontrak pada bulan Februari dan menerima uang setara dengan US$2.000 atau sekitar Rp31 juta. Selain itu, dijanjikan gaji bulanan sebesar $2.300 (sekitar Rp35 juta) ditambah tunjangan lain.
Pemuda dari Kota Walasmulla, Sri Lanka, ini mengaku dipaksa menandatangani kontrak dengan militer untuk mendapatkan status hukum di Rusia. Pada musim semi, dia terluka dan ditangkap di dekat garis depan Ukraina. Dia setuju untuk menceritakan kisahnya jadi tentara bayaran Rusia tanpa menyebut nama.