Subsidi KRL Jabodetabek Bakal Berbasis NIK, YLKI: Kebijakan Absurd!

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) buak suara soal rencana kebijakan mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK

oleh Arief Rahman H diperbarui 30 Agu 2024, 14:45 WIB
Sejumlah penumpang naik kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Penambahan kapasitas penumpang KRL menjadi 80 persen dibuat menyesuaikan aturan terbaru Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan Nomor 57 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

 

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti wacana pemerintah untuk mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Wacana tersebut dinilai kurang tepat bahkan absurd.

Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menegaskan bahwa kebijakan itu kurang tepat untuk diterapkan.

"Terkait penggunaan NIK untuk penyaluran subsidi KRL, ini adalah kebijakan yang absurd, kebijakan yang aneh menurut YLKI," kata Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).

Dia juga memandang bahwa kebijakan itu akan sulit diterapkan serta akan menimbulkan kekacauan di kalangan pengguna layanan.

"Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan, juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya.

Agus menilai, jika tujuannya adalah menaikkan tarif, seharusnya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu, akan ada sosialisasi yang tepat sasaran.

Potensi Risiko

Dia menyayangkan skema tersebut menjadi pilihan. Kekhawatirannya adalah munculnya dua tarif berbeda, padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.

"Jadi kalau pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, ingin melakukan penyesuaian tarif, sebaiknya memang dengan terbuka menyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada menggunakan sistem dua tarif berbeda," jelasnya.

"Yang satu menggunakan NIK kemudian mendapat subsidi, sementara yang lain tidak. Ini kan satu layanan, satu moda, tetapi dengan tarif yang berbeda, itu justru akan membingungkan konsumen," sambungnya.

 


Tarif Berubah?

KRL melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Selasa (27/7/2021). VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba mengungkapkan jumlah penumpang KRL mengalami peningkatan hingga 25 persen sejak penerapan PPKM Level 4. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana mengubah skema pemberian subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Skema tarif hingga data acuan pun menjadi bagian yang masih dikaji.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, menyampaikan bahwa belum ada rencana kenaikan tarif dari KRL Jabodetabek. Dia juga masih akan mengkaji soal kemungkinan perubahan tarif jika subsidi berbasis pada NIK.

"Sampai saat ini kita belum ada rencana (kenaikan tarif KRL)," ucap Adita di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Jumat (30/8/2024).

Selain dampak pada tarif, dia menyebut masih membahas terkait acuan data dari usulan skema subsidi tersebut.

"Ya, itu nanti kita lihat. Jelas basisnya NIK, nah NIK-nya ini nanti akan diambil dari sisi apanya, itu yang sebenarnya sedang kita bahas," katanya.

 


Data Acuan

Penumpang menunggu kedatangan KRL Commuter Line di Stasiun Sudirman, Jakarta, Senin (12/6/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Skema subsidi public service obligation (PSO) ini kemungkinan merujuk pada dua pilihan data acuan. Yakni, NIK menurut data Kementerian Sosial atau NIK berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.

Seperti diketahui, data Kemensos lazimnya digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) yang tepat sasaran. Adita sendiri belum memastikan data mana yang akan menjadi acuan.

"Nah, itu juga salah satu masalahnya. Kita akan menggunakan data yang mana? Itu yang masih kita bahas," terangnya.

Menurutnya, pembahasan soal subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK ini belum masuk pada bahasan data acuan tadi. Artinya, wacana tersebut masih pada tahap awal.

"Belum sampai sana. Nanti harus dibahas lagi. Makanya tadi Pak Dirjen juga belum bisa menyampaikan banyak ya. Karena ini sangat tergantung dari data itu sendiri," tuturnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya