Warga hingga Pejabat Tak Tahu Beda SKM dan Susu, Penyebab Stunting di Sumsel Tinggi?

YAICI menggandeng Majelis Kesehatan PP Muslimat NU menggelar edukasi tentang stunting, gizi buruk dan beberapa permasalahan kesehatan di Palembang Sumsel.

oleh Nefri Inge diperbarui 01 Sep 2024, 16:00 WIB
Ilustrasi Susu Kental Manis.

Liputan6.com, Palembang - Sebagai salah satu provinsi dengan jumlah populasi terbanyak ketiga di Pulau Sumatra, Sumatera Selatan (Sumsel) juga menyumbangkan angka stunting yang cukup tinggi.

Dari hasil data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka stunting di Sumsel sekitar 20,3 persen di 2023, di bawah rata-rata stunting nasional.

Sedangkan angka stunting nasional saat ini masih sebesar 21,5 persen, jauh dari target prevalensi 2024 sebesar 14 persen dan standar World Health Organization (WHO) di bawah 20 persen.

Untuk di Sumsel sendiri, angka stunting sempat naik turun di tiga tahun terakhir. Di 2021 lalu, angka stunting sempat melonjak di angka 24,8 persen dan sempat menurun di 2022 sebesar 18,6 persen. Namun tahun 2023, angka stunting di Sumsel mengalami peningkatan 1,7 persen.

Salah satu penyebab tingginya angka stunting di Sumsel, karena pengetahuan tentang gizi untuk ibu hamil dan anak-anak yang masih minim. Bahkan, masih banyak orangtua yang memberikan Susu Kental Manis (SKM) ke anak-anaknya sebagai pengganti susu sufor atau ASI.

Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menggandeng Majelis Kesehatan PP Muslimat NU, akhirnya menggelar edukasi tentang stunting, gizi buruk dan beberapa permasalahan kesehatan di Palembang Sumsel.

Dari data di lapangan, warga Palembang masih banyak yang mengira SKM adalah pengganti susu untuk pemenuhan gizi anak-anak. Hal tersebut terbukti saat mengunjungi lima keluarga di Jalan Bambu Kuning Kecamatan Sukarami Palembang Sumsel.

Menurut Ketua Harian YAICI Arif Hidayat di Palembang, dari lima keluarga yang ditemui, ada tiga keluarga yang masih menggunakan SKM yang diduga menjadi pemicu anak-anaknya mengalami stunting.

“Mereka mengira SKM adalah susu, padahal SKM itu sirup yang beraroma susu dengan kadar lebih dari 50 persen mengandung gula. Hampir semua anak-anak yang stunting diberikan SKM dan konsumsi yang manis-manis, seperti snack dan permen,” ujarnya, Jumat (30/8/2024).

Doktrin tentang SKM adalah susu, diakuinya, memang sudah menjamur sejak masa lalu. Bahkan dengan masifnya iklan di media massa sejak tahun 1970-an, membuat masyarakat percaya jika dalam SKM ada kandungan susu yang bernilai gizi tinggi untuk anak-anak.

Padahal dalam SKM 100 mL, kandungan gula tinggi mencapai 50gram, atau 15gram gula per 30mL SKM dalam kemasan. Dalam satu sachet SKM mengandung sekitar 4-5 sendok gula yang menjadi standar kebutuhan orang dewasa, yang berbahaya jika dikonsumsi anak-anak secara berkala.

Mirisnya, tak hanya warga saja yang tidak tahu jika SKM bukanlah susu. Namun para pejabat yang ditemui tim YAICI, baru mengetahui jika SKM berbeda dengan susu yang cocok dikonsumsi oleh anak-anak dalam jangka waktu panjang, yang menjadi salah satu penyebab stunting.

Bahkan, ada petugas kesehatan yang mengedukasi SKM adalah susu, saat belum masifnya edukasi tentang SKM. Sehingga doktrin tersebut menular hingga saat ini dan sulit dihilangkan, jika tidak ada edukasi secara masif yang dilakukan bersama-sama.

“Pejabat yang kami temui juga tidak tahu kalau SKM itu adalah gula. Bahkan di sembako (untuk rakyat) juga dimasukkan SKM. Di salah satu daerah di Sumatra, ada kepala daerah yang mengakui anaknya sering mengkonsumsi SKM sebagai pengganti susu,” ujarnya.

Mengonsumsi SKM dalam jangka waktu panjang untuk anak-anak, tidak hanya membuat tubuh tidak tumbuh normal atau pendek, namun juga membuat otak tidak berkembang untuk anak-anak yang sudah berusia 2 tahun ke atas.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Menyelamatkan Anak Stunting

Tim YAICI saat mengunjungi warga di Palembang untuk mengedukasi tentang gizi sehat dan penyebab stunting yang terjadi pada anak-anak (Dok. Humas YAICI / Nefri Inge)

Sehingga anak-anak penderita stunting, tidak bisa beradaptasi dengan sebayanya karena daya IQ yang rendah. Untuk mencegah terjadinya stunting di anak-anak, harus dimulai di usia di bawah 2 tahun, agar tidak terjadi gejala seperti yang disebutkannya.

“Usia 2-5 tahun yang disebutkan hanya untuk data statistik saja. Tapi untuk menyelamatkan anak-anak dari stunting harus dimulai di bawah usia 2 tahun. Minimnya literasi tentang gizi keluarga dan pola asuh yang salah, menjadi faktor terjadinya stunting,” katanya.

Alasan SKM menjadi pilihan pengganti susu bagi anak-anak di masyarakat, karena mudah didapatkan dengan harga yang murah. Padahal jika dihitung-hitung, SKM yang dikonsumsi berkala dengan susu bubuk tidak terlalu jauh beda harganya.

Stunting juga tidak hanya dialami oleh warga dari kalangan ekonomi rendah saja. Bahkan anak-anak dari masyarakat dengan ekonomi menengah juga, banyak mengalami stunting karena minimnya literasi gizi yang baik.

Ada juga ibu hamil yang mengkonsumsi SKM, sehingga gizi ke janin juga berpengaruh. Lalu, banyak orangtua yang salah kaprah jika lepas ASI, mpasi yang diberikan salah satunya adalah SKM.

“Dampaknya memang tidak langsung tapi jadi faktor stunting. Rasa manis SKM bikin anak cepat kenyang, berakibat anak menolak untuk makan yang lain. Apalagi orangtua memberikan SKM karena takut anaknya tantrum tidak dibuatkan SKM, sudah ketagihan dengan manisnya SKM,” katanya.

YAICI tidak mengharapkan produksi SKM berhenti karena isu stunting tersebut, namun adanya penyadaran ke masyarakat yang harus dibangun bersama-sama, baik dari pemerintah, non-pemerintah hingga masyarakat itu sendiri.


Gizi Rendah SKM

Tim YAICI saat mengunjungi warga di Palembang untuk mengedukasi tentang gizi sehat dan penyebab stunting yang terjadi pada anak-anak (Dok. Humas YAICI / Nefri Inge)

Kendati SKM masuk kategori susu menurut CODEX, namun nilai gizi SKM adalah yang terendah dibandingkan jenis susu lain. Dengan kadar lemak susu rata-rata hanya 8 persen dan kadar protein rata-rata hanya 6,5 persen.

Kenapa masyarakat salah persepsi, lanjut Arif Hidayat, karena masih kurang dukungan. Mereka juga berharap kata ‘susu' di SKM dicabut dan cuma dipakai kata ‘kental manis’ saja.

"Apalagi kami sudah keliling Indonesia, masih banyak yang pakai SKM. Bahkan banyak orangtua yang tidak mengaku memberikan SKM ke anaknya. Faktanya, ada yang sampai menghabiskan 1 kaleng SKM sehari untuk diminum anak-anaknya” katanya.

Kabid Kesmas Dinkes Sumsel Feri Irawan berkata, anak-anak di atas usia 6 bulan baru bisa diberikan makanan pendamping ASI sesuai umur. Namun di lapangan, masih banyak yang beranggapan jika SKM adalah susu dan diberikan ke anak-anak berusia 6 bulan tersebut.

“Di masyarakat belum menyadari dampak penggunaan SKM untuk bayi. Sebagian besar stunting terjadi karena pola asuh. Untuk itu kami mengedukasi gizi dilakukan melalui kader, sosialisasi dan pelatihan tenaga kader, mengisiasikan menyusui dini ke ibu-ibu,” ujarnya.

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Sumsel Elen Setiadi membahas tentang tantangan berat ke depan adalah menurunkan angka stunting di Sumsel.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara High Level Meeting & Capacity Building Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi/Kab/Kota se-Sumsel, di Hotel Whyndam Palembang, Jumat (2/8/2024) lalu.

“Stunting dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bawah nasional masih menjadi PR (pekerjaan rumah). Kita harus kerja keras, koordinasi seluruh pihak dapat ditingkatkan. Berkolaborasi dalam menurunkan tingkat kemiskinan,” katanya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya