Pengusaha dan Pedagang Buka Suara soal Aturan Ini, Singgung Masalah Gula hingga Tembakau

Industri Makanan dan Minuman Minta Pemerintah Luruskan soal Konsumsi Gula hingga Garam

oleh Septian Deny diperbarui 31 Agu 2024, 16:07 WIB
Hendaknya konsumsi gula sesuai aturan kesehatan. (Foto: Freepik/fabrikasimf)

Liputan6.com, Jakarta Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menegaskan pentingnya kolaborasi dan harmonisasi dalam penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman menyampaikan, pihaknya tetap bersikukuh untuk mengedepankan pentingnya kajian dampak dan risiko yang didukung oleh data ilmiah yang komprehensif.

"GAPMMI merasa perlu dilibatkan dan bersama-sama dengan Pemerintah untuk meluruskan hal tentang gula, garam, dan lemak (GGL) melalui edukasi konsumsi pangan yang baik dan seimbang kepada masyarakat," kata Adhi dikutip dari Antara, Sabtu (31/8/2024).

Salah satu tujuan diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. GAPMMI sepenuhnya mendukung tujuan baik tersebut untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dengan mengurangi Penyakit Tidak Menular (PTM).

“Yang utama adalah pentingnya kolaborasi dan harmonisasi baik antar-kementerian dan lembaga serta para pemangku kepentingan terkait terhadap peraturan yang akan diterbitkan," ujarnya.

Aturan ini juga seakan-akan menjadikan gula sebagai barang haram. Padahal, gula merupakan kebutuhan penting bagi tubuh manusia, terutama selama masa pertumbuhan. Sehingga, konsumen perlu memiliki kesadaran untuk mengontrol asupannya.

Adhi menyatakan bahwa gula bisa diperoleh dari berbagai sumber, seperti makanan, nasi, buah-buahan, dan lainnya. Dia mencatat bahwa industri makanan dan minuman pun telah berupaya melakukan reformulasi dengan mengurangi kadar gula dalam produk mereka. Namun, masalah muncul ketika konsumen justru menambah gula sendiri pada produk tersebut.

“Meskipun kami sudah mengurangi kadar gula dalam produk, pada akhirnya, konsumen menambahkan gula sendiri di rumah, terutama pada minuman tanpa gula yang kami jual,” jelas Adhi.

Adhi menegaskan bahwa fokus utama dalam menangani masalah ini adalah meningkatkan kesadaran konsumen tentang jumlah gula yang sebaiknya dikonsumsi dalam sehari. “Hal yang terpenting adalah memberikan kesadaran ke konsumen mengenai jumlah gula yang baik untuk dikonsumsi dalam sehari,” paparnya belum lama ini.

 

 


Larangan Produk Tembakau

Para petani tembakau di lahan perkebunan mereka di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Sementara itu, penyesalan atas disahkannya PP 28/2024 pun disuarakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI), Suhendro, yang secara khusus menolak pasal 434 di PP tersebut yang di antaranya mengatur larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Bagi pihaknya, aturan ini akan berdampak sangat besar bagi para pelaku usaha kecil.

“Ekonomi kerakyatan kita sangat terpukul, kita baru kena masalah pandemi, ditambah ekonomi sedang naik turun. Kami berharap sekali pemerintahan baru bisa mendengarkan suara kami dan PP ini bisa ditinjau ulang,” tegas Suhendro.

Dia juga menyoroti bahwa tujuan utama dari peraturan ini, yakni mengurangi konsumsi rokok di kalangan anak di bawah umur, belum tentu dapat tercapai dengan efektif. Yang malah menjadi persoalan baru, yakni akan adanya beban tambahan yang ditanggung oleh pedagang kecil. Sehingga, ia menilai aturan tersebut sedianya masih perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana.

 


Aspirasi Pedagang

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Suhendro turut menyesalkan bahwa suara dan aspirasi pedagang pasar serta pengusaha kelontong tidak mendapatkan perhatian yang layak selama proses penyusunan PP 28/2024. Pihaknya telah mengajukan permohonan agar larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dihapuskan dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, namun permohonan tersebut tidak diakomodir.

“Dengan latar belakang tersebut, APARSI menegaskan komitmennya untuk menolak dengan tegas PP 28/2024 demi keberlangsungan usaha para anggotanya dan ekonomi kerakyatan pada umumnya,” ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya