92 Persen Anak dari Keluarga Berpenghasilan Rendah Mengenal Media Sosial di Usia Lebih Dini

Karakteristik generasi alpha sangat menyukai konten-konten audio visual, 94 persen anak dari keluarga berpenghasilan rendah kenal gawai lebih dini.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 31 Agu 2024, 21:07 WIB
92 Persen Anak dari Keluarga Berpenghasilan Rendah Mengenal Media Sosial di Usia Lebih Dini. Foto: Freepik.

Liputan6.com, Jakarta Studi menunjukkan bahwa 92 persen anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini. Bahkan, 54 persen di antaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia enam tahun.

Ini merupakan hasil studi NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids seperti disampaikan psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Anrilla E M Ningdyah, Ph.D.

Menurut Anrilla, saat ini, anak- anak usia dini nol hingga enam tahun masuk ke dalam generasi alpha. Karakteristik generasi alpha sangat menyukai konten-konten audio visual. Mereka bahkan bisa memiliki jaringan relasi sosial yang lebih luas karena penggunaan teknologi digital tersebut.

“Putra-putri kita yang Generasi Alpha ini sudah sadar pada isu-isu global. Mereka sudah bisa bicara tentang keadilan, mereka sudah bisa bicara tentang kesehatan mental,” ujar Anrilla dalam Kelas Orang Tua Hebat yang disiarkan langsung di saluran Youtube BKKBNOfficial, Rabu 29 Agustus 2024.

Dia menambahkan, gadget adalah bentuk teknologi digital yang praktis dan mudah dibawa sehingga mudah digunakan bagi anak-anak usia sekolah bahkan anak yang lebih muda lagi. Gadget memudahkan siswa untuk belajar dan mengakses materi dengan hobi dan minat mereka yang tidak didapat oleh generasi sebelumnya.


Anak Usia Dini Butuh Aktivitas Langsung Tanpa Gawai

Meski gawai memiliki sisi positif, tapi Anrilla tidak memungkiri bahwa sebenarnya anak usia dini masih membutuhkan aktivitas langsung tanpa menggunakan gawai untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

 “Sesungguhnya pengasuhan anak usia dini di nol sampai enam tahun masih jauh lebih banyak yang membutuhkan penanganan berupa aktivitas-aktivitas langsung dibandingkan yang bisa dipindahkan ke dalam gadget putra putri kita,” ucapnya.

Adapun dampak penggunaan teknologi digital pada anak di antaranya berpengaruh terhadap kesehatan mental. Tingkat depresi lebih tinggi muncul setelah penggunaan media sosial di atas tiga atau empat jam per hari. Termasuk peningkatan risiko perundungan siber, ketergantungan, dan pemborosan waktu/time drain.


Picu Tics dan Tourette Syndrome

Bahkan, lanjut Anrilla, penggunaan gawai yang terlalu lama dapat memicu masalah seperti tics dan tourette syndrome.

“Muncul penyakit yang dipicu oleh screen time terlalu lama yaitu tics and tourette syndrome, menurunnya keamanan pribadi dan kerahasiaan/privacy. Juga penyalahgunaan data-data pribadi, menjadi target berlebihan bagi iklan-iklan, mendorong perilaku  konsumtif dan impulsive buying,” imbuhnya.

Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya mencegah sejak dini dengan menerapkan digital parenting.

“Kita mengelola secara cerdas (penggunaan teknologi) dan yang efektif yang sudah terbukti keberhasilannya. Salah satu konsep yang harus kita pelajari, adalah pola pengasuhan digital atau digital parenting. Itu prinsipnya tiga saja, gampang sekali untuk diingat, pahami, dukung dan kemudian atur aktivitas anak-anak,” urainya.


3 Prinsip Digital Parenting

Tiga prinsip digital parenting dimulai dengan memahami. Ini perlu dimulai dari diri orangtuanya sendiri dengan menolak pandangan bahwa memberikan gawai adalah solusi agar anak tidak rewel.

Orangtua perlu mengevaluasi dan memastikan penggunaan tepat teknologi digital bagi dirinya sendiri dahulu, sebelum membantu anak-anak. Penggunaan yang tepat dapat menunjang kesehatan mental. Ini perlu disertai dengan pemahaman soal fondasi kesehatan mental.

“Fondasi kesehatan mental di antaranya pola tidur cukup, aktivitas fisik dengan tetap aktif bergerak minimal 60 menit per hari, asupan nutrisi cukup, berikan dan dapatkan dukungan sosial, membuat batasan antara rumah dan kantor dan menghindari bekerja di tempat tidur,” tuturnya.

Pola asuh digital selanjutnya adalah memberi dukungan. Anak-anak usia dini, menurut Anrilla, membutuhkan stimulasi-stimulasi langsung untuk memiliki fungsi eksekutif, yaitu sekelompok proses mental dan kemampuan kognitif kompleks yang mengatur keterampilan untuk melakukan perilaku mencapai tujuan.

Orangtua perlu mendukung anak untuk fokus dan perhatian, paham dan ingat instruksi, kontrol diri, organisasi dan prioritas, serta pengaturan emosi.

“Fungsi eksekutif dapat diajarkan, dilatih, dan dikembangkan. Syaratnya adalah berikan kesempatan dan pengalaman melalui asah, asih dan asuh,” imbuhnya.

Poin ketiga adalah mengatur, yaitu batasi, kelola, arahkan. Ini mencakup waktu, durasi, dan frekuensi penggunaan gawai. Orangtua bisa menggunakan aplikasi parental monitoring dan membuat kebijakan atau kontrak (perjanjian) yang didiskusikan dengan anak. Misalnya terkait aturan batasan waktu menggunakan gawai yang telah dibicarakan dan disepakati oleh anak.

INFOGRAFIS JOURNAL_ Beberapa Gejala Permasalahan Kesehatan Mental pada Anak (Liputan6.com/Abdillah).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya