Liputan6.com, Moskow - Rusia menuduh Uni Eropa melakukan pencurian setelah blok tersebut mentransfer keuntungan tahap pertama dari aset Rusia yang dibekukan ke Ukraina untuk meningkatkan kemampuan militernya dalam menghadapi invasi Moskow. Kelompok negara-negara industri terkemuka Group of Seven (G7) merencanakan skema serupa.
Namun, ada kekhawatiran bahwa skema pengalihan aset tersebut dapat mendorong beberapa negara untuk memotong pendanaan bilateral mereka ke Ukraina, setelah Jerman mengindikasikan akan mengakhiri bantuan militer bilateral untuk Kyiv setelah 2025.
Advertisement
Uni Eropa mengatakan pada Jumat (30/8/2024) bahwa mereka sejauh ini telah memberikan sekitar USD 48 miliar atau sekitar 745,55 triliun rupiah bantuan militer ke Ukraina sejak invasi Rusia pada 2022. Blok tersebut telah mulai memberikan bantuan militer dan sipil ke Ukraina dengan menggunakan keuntungan dari aset-aset Rusia yang disita senilai USD 300 miliar, menyusul perjanjian Uni Eropa yang dicapai pada Mei.
"Kami telah memobilisasi tahap pertama keuntungan tak terduga dari aset-aset Rusia yang dibekukan. Jumlahnya 1,4 miliar euro. Sebagian darinya akan langsung disalurkan ke Ukraina untuk meningkatkan industri pertahanan Ukraina. Pada Maret, kami akan memiliki tahap kedua dari keuntungan tak terduga," kata Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell kepada wartawan pada Jumat, seperti dilansir VOA Indonesia.
Pencurian
Moskow menggambarkan transfer keuntungan dari aset-asetnya yang dibekukan sebagai pencurian.
"Ini tidak lain hanyalah pengambilalihan ilegal – dalam bahasa Rusia, pencurian – atas uang dan aset kami," kata juru bicara kepresidenan Rusia Dmitry Peskov kepada wartawan melalui panggilan telepon, Kamis (29/8).
G7 juga setuju pada Juni untuk menggunakan aset Rusia yang dibekukan untuk membiayai pinjaman sebesar USD 50 miliar guna memberikan bantuan militer bagi Ukraina, meskipun skema tersebut belum diselesaikan.
Jerman pada bulan ini mengindikasikan bahwa negara itu bermaksud mengakhiri bantuan militer bilateral untuk Ukraina mulai 2026 sebagai upaya menambal defisit anggaran sebesar USD 13 miliar. Berlin mengatakan mekanisme aset G7 dapat membantu menutupi kekurangan tersebut.
Jerman saat ini merupakan donor bilateral terbesar kedua bagi Ukraina, setelah Amerika Serikat (AS). Tindakan untuk mengakhiri dukungan tersebut mendapat kecaman luas, kata analis Liana Fix dari Dewan Hubungan Luar Negeri yang berbasis di AS.
"Sinyal politik yang mereka kirimkan sangat buruk: bahwa donor terbesar di Eropa, Jerman, tiba-tiba menghentikan dukungannya terhadap Ukraina, terutama karena tidak jelas kapan dan bagaimana tepatnya mekanisme G7 mengenai aset-aset Rusia yang dibekukan akan bekerja," kata Fix.
"Ide instrumen G7 adalah untuk mengkomunikasikan kepada (Presiden Rusia) Vladimir Putin bahwa tidak masuk akal baginya untuk menunggu lebih lama dari negara-negara Barat, bukan? Ini adalah tanda yang kontradiktif saat ini – ketika sumber keuangan lain telah dimanfaatkan, tiba-tiba pendanaan untuk Ukraina dipotong dari anggaran."
Advertisement