Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih mengkaji skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ekonom menilai skema ini bisa jadi jalan keluar untuk penghematan anggaran.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal nampak setuju dengan skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK. Menurutnya, beban subsidi menjadi semakin besar di tengah peningkatan pengguna KRL, akhirnya turut menjadi beban kepada APBN.
Advertisement
"Jika subsidi itu dipukul rata dikenakan semua pengguna ketika jumlah pemakainya makin banyak maka otomatis anggaran subsidi juga KRL akan terus meningkat," kata Faisal kepada Liputan6.com, Senin (2/9/2024).
Dia mencatat adanya kenaikan subsidi public service obligation (PSO) ke KAI dan KAI Commuter setiap tahunnya. Pada 2020 dialokasikan sebesar Rp 4,7 triliun, pada 2023 naik ke Rp 5 triliun, dan mengacu outlook 2024, angkanya mencapai Rp 7,8 triliun.
"Ini bisa kira lihat dari peningkatan anggaran subsidi di 2020 Rp 4.700 miliar, kemudian 2023 lebih dari Rp 5.000 miliar dan di 2024 perkiraannya Rp 7.800 miliar," ucapnya
Melihat peningkatan subsidi PSO ke angkutan kereta itu, Faisal menilai perlu ada pembatasan penyaluran subsidi. Harapannya, langkah itu bisa menjaga kekuatan APBN.
"Nah dalam kondisis seperti ini, jika memang tidak ada pembatasan pemberian subsidi memang anggaran subsidi akan meningkat pesat. Jadi artinya akan membebani APBN," ujarnya.
"Di sisi yg lain, subsidi pada dasarnya memang menurut saya pada prinsipnya adalah untuk kalangan menengah ke bawah saja, jadi tidak diberikan kepada kenengah ke atas sebetulnya. Jadi memang kalau melihat 2 masalah ini memang perlu ada upaya untuk mengusahakan supaya subsidi tersebut tepat sasaran, orang yang mampu tidak diberikan subsidi harusnya," sambung Faisal.
YLKI: Kebijakan Absurd!
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti wacana pemerintah mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Wacana tersebut dinilai kurang tepat bahkan absurd.
Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno menegaskan kebijakan itu kurang tepat untuk diterapkan.
"Terkait penggunaan NIK untuk penyaluran subsidi KRL ini kebijakan yang absurd, kebijakan yang aneh menurut YLKI," kata Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).
Dia juga memandang kebijakan itu akan sulit diterapkan. Serta, akan menimbulkan kekacauan di para pengguna layanan.
"Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya.
Agus menilai, jika tujuannya adalah menaikkan tarif, seharusnya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu ada sosialisasi yang tepat sasaran.
Dia menyayangkan skema tersebut jadi pilihan. Kekhawatirannya akan muncul dua tarif berbeda padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.
"Jadi kalau pemerintah dalam hal ini Kemenhub ingin melakukan penyesuaian tarif sebaiknya memang dengan terbuka memyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada dengan sistem dual tarif berbeda," jelasnya.
"Yang satu menggunakan NIK kemudian mendapat subsidi sementara yang lain tidak. Ini kan satu layanan satu moda tetapi dengan tarif yang berbeda itu justru akan membingungkan konsumen," sambung dia.
Advertisement
Tarif Berubah?
Diberitakan sebelumnya,Pemerintah berencana mengubah skema pemberian subsidi KRL Jabodetabek menjadi berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Skema tarif hingga data acuan pun menjadi bagian yang masih dikaji.
Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati menyampaikan belum ada rencana kenaikan tarif dari KRL Jabodetabek. Dia juga masih akan mengkaji soal kemungkinan perubahan tarif jika subsidi berbasis pada NIK.
"Sampai saat ini kita belum ada rencana (kenaikan tarif KRL)," ucap Adita di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Jumat (30/8/2024).
Selain dampak pada tarif, dia menyebut masih membahas terkait acuan data dari usulan skema subsidi tersebut.
"Ya, itu nanti kita lihat lah ya. Jelas basisnya NIK, nah NIK-nya ini nanti akan diambil dari sisi apanya, itu yang sebenarnya sedang kita bahas," katanya.
Data Acuan
Skema subsidi public service obligation (PSO) ini kemungkinan merujuk pada dua pilihan data acuan. Yaknk, NIK menurut data Kementerian Sosial atau NIK berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
Seperti diketahui, data Kemensos lazimnya digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat sasaran. Adita sendiri belum memastikan data mana yang jadi acuannya.
"Nah, itu juga salah satu masalahnya. Kita akan menggunakan data yang mana. Itu yang kita juga pasti masih bahas," terangnya.
Menurutnya, pembahasan sial subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK ini belum masuk pada bahasan data acuan tadi. Artinya, wacara tersebut masih pada tahap awal.
"Belum sampai sana. Nanti harus dibahas lagi. Makanya tadi Pak Dirjen juga belum bisa sampein banyak ya. Karena ini sangat tergantung dari si data itu sendiri," tuturnya.
Advertisement