Rupiah Hari Ini 3 September 2024 Ditutup Loyo dari Dolar AS, Segini Sekarang

Untuk perdagangan besok, Rupiah diperkirakan fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp. 15.450 - Rp.15.550

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 03 Sep 2024, 17:00 WIB
Petugas menata mata uang rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Kamis (5/1/2023). Mengutip data Bloomberg pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup turun 0,22 persen atau 34 poin ke Rp15.616,5 per dolar AS. Hal tersebut terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS 0,16 persen ke 104,41. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Rupiah kembali melemah pada perdagangan Selasa sore, 3 September 2024.

Rupiah ditutup melemah tipis 1 point terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) pada Selasa (3/9), walaupun sebelumnya sempat melemah 55 point dilevel Rp.15.526 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.525.

"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang  Rp. 15.450 - Rp.15.550," ungkap Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan di Jakarta, Selasa (3/9/2024).

Ibrahim melihat, perhatian investor saat ini beralih ke laporan pekerjaan AS yang akan datang yang diharapkan pada akhir pekan.

"Laporan tersebut, yang akan dirilis pada hari Jumat, diantisipasi akan memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan moneter Federal Reserve, terutama setelah Ketua Fed Jerome Powell mengisyaratkan perubahan dari fokus pada inflasi menjadi pencegahan kehilangan pekerjaan," bebernya.

Saat ini, ada peluang 33% untuk pemotongan suku bunga The Fed 50 basis poin di bulan September 2024, dengan pengurangan seperempat poin diharapkan sepenuhnya.

Ini merupakan sedikit perubahan dari minggu sebelumnya ketika kemungkinan untuk pemotongan yang lebih besar berada di angka 36%. 

"Kekuatan dolar sebelumnya mencerminkan sentimen ini karena mencapai level tertinggi sejak 20 Agustus, didorong oleh peningkatan imbal hasil Treasury jangka panjang ke titik tertinggi sejak pertengahan Agustus. Kenaikan imbal hasil ini mengikuti data inflasi yang menunjukkan bahwa Fed mungkin memilih pemotongan suku bunga yang lebih kecil," papar Ibrahim.

"Hasil laporan pekerjaan yang akan datang kemungkinan akan berdampak signifikan pada lintasan dolar dalam waktu dekat. Salah satunya angka penggajian yang lebih kuat dari yang diharapkan dan tingkat pengangguran yang lebih rendah kemungkinan akan memberi pasar keyakinan yang lebih besar bahwa risiko pertumbuhan telah mereda," beber Ibrahim.

Selain itu, utang-utang di negara maju mencatat kenaikan signifikan dari 70 persen menjadi 112 persen dari produk domestik bruto (PDB), sementara di negara-negara berkembang kenaikan jumlah utang paska pandemi dari 47 persen dari PDB awal 2000 sekarang mencapai 71 persen.

 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan saya pribadi sebagai seorang pengamat. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor transaksi terkait. 

Sesuai dengan UU PBK No.32 Tahun 1997 yang diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 2011 bahwa transaksi di Valas beresiko tinggi dan keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


Utang RI Masih terjaga

Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sedangkan Utang Indonesia relatif terjaga di tengah ketidakpastian global dan tingginya tensi geopolitik di dunia. 

Data pemerintah menunjukkan bahwa, hakhir Juli 2024, rasio utang kembali turun menjadi 38,68 persen yang berarti masih jauh di bawah batas  aman yakni 60 persen sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

 Lonjakan utang di berbagai negara tersebut disebabkan oleh ruang fiskal dan ruang moneter yang menjadi sangat menyempit akibat kondisi seluruh dunia yang belum sepenuhnya pulih paskapandemi, dan terjadinya perang serta tensi geopolitik.

 "Secara global kondisi 2024 belum menunjukkan adanya perbaikan dikarenakan situasi global masih sama dan bahkan cenderung meruncing karena tensi geopolitik dan peperangan di sejumlah negara," Ibrahim menyoroti.

 


Disrupsi Konflik Picu Kenaikan Inflasi

Ilustrasi Konsep Inflasi Credit: pexels.com/pixabay

Lebih lanjut, disrupsi akibat terjadinya perang mengakibatkan inflasi meningkat tinggi dan diikuti dengan suku bunga global yang melonjak tinggi, meskipun mulai September 2024 akan terjadi penurunan suku bunga terutama di Amerika Serikat.

Perang juga bisa menyebabkan disrupsi suplai sehingga harga komoditas melonjak tinggi. Sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dunia melemah.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2024 hanya sebesar 3,2 persen lebih rendah dari tahun lalu, dan pada 2025 akan tumbuh 3,3 persen sama seperti tahun 2023.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya