GAPMMI Tolak Pemberlakuan Cukai Minuman Berpemanis, Ini Alasannya

Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman menuturkan, pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan berdampak luar biasa.

oleh Tim Bisnis diperbarui 04 Sep 2024, 15:31 WIB
Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) menolak rencana kebijakan pengenaan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). (Foto: tim bisnis)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) menilai, kebijakan pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dapat mengerek harga hingga 30 persen. Seiring hal itu, GAPMMI menolak rencana kebijakan pengenaan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Kebijakan pengenaan cukai ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023  tentang Kesehatan yang diterbitkan Pemerintah akhir Juli 2024 untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. 

Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman menuturkan, pengenaan cukai berpotensi mengerek harga jual minuman berpemanis. Bahkan, kenaikan harga bisa menyentuh hingga 30 persen.

Dari hitungan GAPMMI, nilai pengenaan cukai minuman berpemanis berpeluang di kisaran Rp 1.700 per liter. Dengan demikian akan membebani konsumen dan berdampak serius bagi industri minuman berpemanis.

"Cukai itu bisa kenaikan 30 persen harga, kalau sampai pemerintah mau mewacanakan Rp1.700 per liter, itu dampaknya luar biasa," kata Adhi di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Ia menambahkan, penyebab Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat saat ini tidak hanya semata-mata disebabkan oleh konsumsi gula dari produk olahan. Melainkan lebih diakibatkan oleh faktor gaya hidup masyarakat.

"Lemak, garam, gula itu enggak salah. Yang salah itu pola dan gaya hidup serta konsumsi kita. Itu yang harus diperbaiki. Ini melalui edukasi. Jadi jangan produknya yang disalahkan," kata dia.

Seiring hal itu, GAPMMI ingin berkolaborasi bersama pemerintah dalam menyosialisasikan gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit tidak menular. Sebaliknya, pengenaan cukai minuman berpemanis ini dinilai tidak cukup efektif untuk mencegah penyakit tidak menular.

"Kita berharap bisa edukasi masyarakat. Karena ujung-ujungnya masyarakat sendiri yang harus makan makanan seimbang, beraktivitas dan sebagainya," ujar dia.


Pemerintah Masih Berkoordinasi

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melantik 49 Pejabat Eselon 2 dan setara di lingkungan Kementerian Keuangan. (instagram Sri Mulyani)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan masih berkoordinasi dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto soal kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

"Kami terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan presiden terpilih,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (27/8/2024).

Menurut Sri Mulyani, ada beberapa hal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih dikoordinasikan dengan tim presiden terpilih, baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara. Selain PPN, misalnya, juga termasuk kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Namun, kepastian dari berbagai program tersebut akan diumumkan oleh Prabowo setelah pelantikan presiden.

"Untuk kebijakan yang memiliki dampak sosial, politik dan ekonomi yang cukup luas, nanti presiden terpilih yang akan menetapkan dan menyampaikan. Kami terus berkoordinasi dengan intensif,” ujar Sri Mulyani.


 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com


Minuman Berpemanis Bakal Kena Cukai, Kemenperin Ungkap Dampaknya

Lebih cermat mengenali produk yang kita konsumsi dengan mencari informasi teruji, minuman berpemanis bukan penyebab sakit ginjal kronis

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut bahwa industri minuman, khususnya minuman berpemanis dalam kemasan, mulai mengalami penurunan produksi.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan bahwa penurunan ini disebabkan oleh rencana Kementerian Keuangan yang akan menerapkan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

"Industri minuman, berdasarkan IKI Agustus 2024, kami mencermati bahwa ada sedikit penurunan produksi di industri minuman pada bulan Agustus. Meskipun masih kecil, kami melihat bahwa subsektor minuman mulai merespons pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan," ujar Febri dalam konferensi pers rilis Indeks Keyakinan Industri (IKI) Agustus 2024 di Bogor, Kamis (29/8/2024).

Diketahui, pemerintah telah membatasi kadar gula, garam, dan lemak dalam produk makanan dan minuman melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.

Selain itu, pemerintah menargetkan penerimaan cukai naik sebesar 6 persen dalam nota keuangan RAPBN 2025, menjadi Rp 244 triliun. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui ekstensifikasi cukai secara terbatas pada produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Mulai Berlaku 2025

Penerapan cukai terhadap MBDK akan mulai diberlakukan pada tahun 2025. Namun, kebijakan ini telah mengundang sejumlah protes dari masyarakat, terutama dari kalangan pengusaha minuman di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, memproyeksikan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025 akan sangat berpengaruh terhadap volume penjualan produk industri makanan dan minuman (mamin), dan berpotensi menyebabkan terjadinya PHK massal di sektor industri mamin.

 


Ancam PHK

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meminta agar pemerintah bisa lebih melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunan aturan lanjutan soal cukai minuman berpemanis.

Shinta mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebetulnya sudah melakukan audiensi dengan pihak pengusaha terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang juga menaungi soal aturan cukai minuman berpemanis.

"Saat ini kami harapkan untuk aturan turunannya itu kami lebih dilibatkan. Jadi konsultasi ini bisa berjalan, dan kami juga sudah melibatkan semua asosiasi," pinta Shinta dalam sesi temu media di Kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8/2024).

Menurut dia, pengusaha memang menaruh perhatian lebih terhadap pungutan cukai untuk minuman berpemanis. Pasalnya, itu akan memunculkan efek pengganda alias multiplier effect pada ruang gerak pelaku usaha makanan dan minuman. Khususnya dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produknya.

Efek Domino

Selain itu, kebijakan tersebut pun bakal menimbulkan efek domino terhadap kegiatan ekonomi. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

"Kalau cukai naik, harganya juga akan naik, daya beli masyarakat bisa turun. Dan ketika permintaan turun bisa berdampak kepada produksi. Jika berkepanjangan akan berdampak pula kepada permintaan produksi dan pengurangan tenaga kerja," paparnya.

 Sebab, ia menyebut bahwa sektor makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB industri non migas sebesar 39 persen, dan menyumbang 6,55 persen terhadap PDB nasional.

Tak hanya faktor ekonomi, Shinta pun merasa tak yakin batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan seperti tercantum dalam PP 28/2024 bisa langsung menurunkan angka penyakit.

"Jadi menentukan batas maksimal GGL di produksi pangan olahan saja tidak serta merta menurunkan angka penyakit yang disebabkan gula yang tinggi," tegas Shinta.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya