Liputan6.com, Jakarta - Selandia Baru menaikkan pajak turisnya hampir tiga kali lipat untuk membantu melindungi lingkungan alamnya dan meningkatkan layanan publik. Mulai 1 Oktober 2024, pajak turis akan naik tajam dari semula 35 dolar NZ (Rp334 ribu) menjadi 100 dolar NZ (Rp956 ribu).
Mengutip dari laman Euro News, Kamis, 5 September 2024, langkah ini diambil meskipun jumlah pengunjung menurun sejak pandemi. Pemulihan sektor pariwisata di negara itu baru mencapai sekitar 84 persen pada 2024 dibandingkan periode yang sama pada 2019.
Advertisement
Selandia Baru bangkit perlahan dari Covid-19, dengan mengambil kesempatan untuk beralih ke perjalanan yang regeneratif dan berkelanjutan. Pemerintah mengguncang popularitas Selandia Baru di kalangan backpacker beranggaran rendah.
Kementerian pariwisatanya mengumumkan rencana untuk fokus pada turis dengan pengeluaran lebih tinggi yang tinggal untuk jangka waktu tinggal lebih lama. Sebelum pandemi, pariwisata merupakan industri terbesar Selandia Baru, yang menyerap sebanyak 8,4 persen dari tenaga kerja negara tersebut.
Sektor pariwisata juga menyumbang sekitar enam persen dari PDB baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada 2023, disebutkan pariwisata berada di posisi terbesar kedua.
Menurut data periode 2016--2019, sekitar 11 juta pengunjung datang ke negara kepulauan tersebut yang berpopulasi penduduk tetap hanya lima juta jiwa. Namun, popularitas negara tersebut berdampak buruk pada lingkungan alamnya yang rapuh yang menjadi salah satu daya tarik terbesarnya.
Kerusakan lingkungan tidak hanya mengancam daya tarik estetika dan rekreasi Selandia Baru. Hal itu juga membuatnya kurang tangguh terhadap bencana, seperti banjir dan kebakaran hutan, yang semakin sering terjadi di negara tersebut akibat perubahan iklim dan pembangunan di pedesaan.
Alasan Selandia Baru Menaikkan Pajak Pariwisata
Biaya pariwisata yang lebih tinggi sebagian akan digunakan untuk meningkatkan inisiatif konservasi yang mengurangi dampak pengunjung. Retribusi Konservasi dan Pariwisata Internasional (IVL) sebesar 35 dolar NZ (Rp334 ribu) saat ini diberlakukan di Selandia Baru pada Juli 2019 untuk mendukung warisan alam dan infrastruktur negara tersebut.
Biaya tetap tersebut harus dibayarkan oleh pengunjung internasional yang mengajukan permohonan NZeTA (Otoritas Perjalanan Elektronik Selandia Baru) atau visa turis. Pengunjung dari Australia dan banyak Kepulauan Pasifik dikecualikan.
Biaya tersebut telah digunakan untuk mendanai berbagai proyek mulai dari penciptaan habitat dan pemberantasan hama, juga untuk pengembangan kegiatan pariwisata berkelanjutan dan pemeliharaan jalur sepeda. Namun, pemerintah mengatakan pendapatan yang dihasilkannya, sekitar 80 juta dolar NZ (Rp765,3 miliar), tidak cukup untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi sektor pariwisata dan konservasi.
Karena itu, pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tersebut wajar. Hal ini menurut mereka juga membuat Selandia Baru sejajar dengan biaya negara lain.
Biaya pajak yang akan menjadi 100 dolar NZ (setara Rp956 ribu) dinilai jauh lebih tinggi daripada destinasi seperti Bali, yang mengenakan biaya sebesar Rp150 ribu per kunjungan. Namun, biaya tersebut sejalan dengan destinasi populer di Eropa, yang mengenakan pajak per malam. Misalnya, di Barcelona, Spanyol, pengunjung harus membayar hingga €7,50 per malam mulai Oktober, dengan total 52,50 euro per minggu (setara Rp900 ribuan).
Advertisement
Kekhawatiran Kunjungan Turis Menurun
Dibandingkan dengan beberapa destinasi lain yang secara ekologis rapuh, pajak Selandia Baru akan tetap relatif rendah. Pada Agustus 2024, Kepulauan Galapagos menaikkan retribusi pengunjung menjadi 200 dolar AS (setara Rp3 jutaan), naik dari 100 dolar AS (setara Rp1,5 jutaan).
"Pajak sebesar 100 dolar NZ umumnya kurang dari 3 persen dari total pengeluaran pengunjung internasional saat berada di Selandia Baru, yang berarti tidak mungkin berdampak signifikan pada jumlah pengunjung," kata Menteri Pariwisata dan Perhotelan Matt Doocey.
Namun, beberapa badan pariwisata khawatir kenaikan tersebut dapat menghalangi pengunjung. NZ Airports berpendapat hal itu akan buruk bagi perekonomian, sementara Industri Pariwisata Aotearoa (TIA) menyebutnya sebagai "penghalang yang membuat Selandia Baru sangat mahal untuk dikunjungi".
Asosiasi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan pajak akan mulai berlaku bersamaan dengan kenaikan biaya visa pengunjung Selandia Baru sebesar 60 persen, sehingga total biaya untuk memasuki negara tersebut mencapai 500 dolar NZ (setara Rp4,7 juta). Asosiasi tersebut memperingatkan bahwa jumlah ini lebih dari dua kali lipat biaya kunjungan ke Kanada dan 66 persen lebih mahal daripada biaya kunjungan ke Australia.
60 Destinasi Dunia Berlakukan Pajak Wisata
Lebih dari 60 destinasi wisata di dunia sekarang ini menarik pajak wisata bagi para turis asing. Dikutip dari CNN, Rabu, 15 Mei 2024, pada April 2024, Venesia mulai membebankan biaya kepada wisatawan harian (day trippers) sebesar 5 Euro atau Rp87 ribu untuk mengunjungi kota tersebut pada musim-musim sibuk.
Bukan cuma kota laguna dengan 30 juta pengunjung setiap tahunnya yang tertarik untuk mencoba pajak pariwisata baru. Di Inggris, dewan wilayah di Kent telah merekomendasikan penerapan pajak wisata untuk penginapan semalam di wilayah tersebut. Di Skotlandia, pengunjung ke Edinburgh kemungkinan besar akan membayar biaya pajak tambahan pada 2026 dan pemerintah Wales berencana untuk memperkenalkan undang-undang serupa pada akhir tahun ini.
Beberapa negara bahkan telah menerapkannya sejak lama, seperti Prancis sejak 1910. Namun, sebagian besar diperkenalkan dalam satu atau dua dekade terakhir.
Sebelum pandemi COVID menjangkit, tahun 2020 digambarkan sebuah surat kabar sebagai "tahun pajak turis", karena Amsterdam bergabung dengan daftar tujuan wisata kena pajak, bersama dengan Paris, Malta, dan Cancun. Hal ini ditanggapi secara beragam oleh para wisatawan.
Advertisement
Kontroversi Pajak Wisata
Bagi banyak daerah tujuan wisata, masalah utama bukanlah wisatawan yang bermalam, melainkan pengunjung harian yang menggunakan sumber daya lokal namun hanya memberikan sedikit kontribusi finansial. Karena itu, pajak juga dapat digunakan untuk 'mengurangi' kunjungan harian dan justru mendorong turis untuk berlibur lebih lama.
Penerapan pajak wisata ini kerap kali menimbulkan kontroversi, dengan badan-badan industri menyuarakan keprihatinan mengenai potensi dampaknya terhadap industri wisatawan. Tampaknya, hubungan antara pajak tersebut dan jumlah pengunjung tidaklah sederhana.
Beberapa penelitian menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Contohnya saja, beberapa pihak berpendapat bahwa pajak pariwisata sudah menghambat pariwisata internasional di Kepulauan Balearik dan Maladewa dan hal ini mungkin menghalangi masyarakat agar berpartisipasi dalam pariwisata domestik. Tetapi, di Barcelona jumlah pengunjung terus meningkat, dengan peningkatan jumlah tamu hotel dari 7,1 juta pada 2013 menjadi 9,5 juta pada tahun 2019.
Faktanya, hubungan antara pajak wisata dan arus wisatawan sangatlah kompleks sampai tidak ada kesatuan pandangan, bahkan di dalam negara yang sama. Italia adalah salah satu negara yang paling banyak diteliti, dan hasilnya juga tidak konsisten.