Liputan6.com, Jakarta - Disleksia kerap tak terdeteksi oleh orangtua dan guru. Hal ini membuat anak tidak mendapat penanganan yang tepat sehingga mengalami kesulitan dalam belajar.
Kabar baiknya, dua siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya menemukan alat detektor dini disleksia.
Advertisement
Disleksia adalah kondisi di mana seorang anak mengalami kesulitan memahami sesuatu terutama kesulitan membaca dan menulis.
Menurut data Dyslexia Center Indonesia 2019, disleksia menjadi masalah yang cukup umum di Indonesia dengan prevalensi 10 persen. Menurut guru pembimbing penelitian ini, Vira Wardati, pada setiap kelas berisi 30 anak, biasanya ada 2-3 siswa yang sebenarnya menyandang disleksia. Dan banyak dari mereka tidak terdiagnosis sehingga tidak dilakukan terapi.
"Tanda-tanda anak disleksia itu waktu kecil mereka terlambat bicara dan biasanya saat usia sekolah kesulitan diajari menulis," kata Vira mengutip laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), Jumat (6/9/2024).
Penelitian siswa MTsN 2 Kota Surabaya ini bertajuk Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensevalografi pada Rancang Bangun Aplikasi Deteksi Disleksia Berbasis Mobile (DMD).
Dengan temuan ini, penyandang disleksia dapat dideteksi secara instan tanpa melalui rangkaian tes yang melelahkan sebagaimana selama ini ditempuh. Peneliti yang terlibat adalah dua siswi kelas IX bernama Fathi Zahiya (14) dan Nur Maisyah Ilmira (14). Temuannya menjadi salah satu finalis di ajang Madrasah Young Researcher Supercamp (MYRES) 2024 yang digelar Kementerian Agama, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) di Ternate, Maluku Utara, 3-7 September 2024.
Deteksi Gelombang Beta dan Gama di Otak
Fathi Zahiya menjelaskan, otak manusia memiliki gelombang alfa, beta, delta, gama, dan theta. Gelombang-gelomang itu dapat dideteksi dari permukaan otak dengan alat yang bernama elektroensefalografi (EEG) yang dapat mengukur amplitudonya.
Menurut Fathi Zahiya, pada penyandang disleksia, selalu gelombang beta dan gama-nya tidak beraturan.
"Dari sini saja sudah dapat disimpulkan bahwa obyek mengalami gangguan disleksia," kata Fathi dalam ajang Expo MyRes di Hotel Bela Ternate (5/9/2024).
Simpulan ini kemudian diuji dengan metode epoch 20 kali, dan didapat akurasi 100 persen.
Advertisement
Deteksi Dini Disleksia Lebih Cepat
Selama ini, orangtua yang memiliki anak disleksia akan datang ke psikolog untuk melakukan serangkaian uji.
Biasanya psikolog akan mengamati tanda-tanda umum, seperti kesulitan baca tulis, mengingat warna, kesulitan memahami tata bahasa, sulit mengucapkan kata yang baru dikenal, dan lambat memahami sesuatu. Kemudian psikolog memberikan soal ujian yang terbagi dalam beberapa tahap. Setelah hasilnya dianalisis, baru ditarik simpulan final dalam waktu 10 hari.
"Proses ini cukup melelahkan dan terkadang tidak diteruskan hingga tuntas," lanjut Fathi.
Di tangan dua siswi MTsN 2 Kota Surabaya ini, deteksi disleksia langsung diketahui secara instan. Caranya dengan menempelkan beberapa sensor di kepala anak yang dites, kemudian dibaca dengan alat elektroensefalografi (EEG). Hasilnya akan menunjukkan grafik semua gelombang otak secara terperinci dalam skala amplitudo.
"Jadi setelah dites langsung keluar hasilnya, dengan hasil skor yang akurat," kata Fathi Zahiya.
Detektor Bermodal Rp5 Juta
Menurut guru pembimbingnya, Vira Wardati, metode ini belum dipakai oleh para psikolog.
"Sampai saat ini belum ada aplikasi alat ini untuk deteksi disleksia. Para psikolog masih menggunakan tes manual," jelasnya.
Perangkat ini disiapkan dalam dua bulan oleh Tim MTsN 2 Kota Surabaya dengan biaya sebesar Rp5 juta.
Alat ini hanya detektor, bukan untuk terapi. Tetapi penting artinya bagi penyandang disleksia agar dapat dideteksi sejak dini sehingga penanganannya lebih mudah dan perlakuannya lebih tepat. Disleksia dapat diterapi secara dini dan lebih besar peluang berhasilnya secara tuntas. Intervensi dini dapat membantu anak-anak disleksia menjadi pembelajar yang terampil.
Selama ini para psikolog mengenal empat jenis terapi disleksia, yaitu terapi wicara (speech therapy), terapi multisensori, terapi program membaca, dan terapi yoga. Keempatnya dipercaya dapat meningkatkan kemajuan otak kecil untuk anak-anak dengan disleksia, dispraksia, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Semuanya itu adalah gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak.
Advertisement