Liputan6.com, Jakarta - Dunia olahraga internasional berduka atas meninggalnya atlet Olimpiade Uganda, Rebecca Cheptegei. Ia menghembuskan napas terakhir di usia 33 tahun setelah menderita luka bakar parah akibat serangan brutal oleh pacarnya.
Mengutip Al-Jazeera, Jumat (6/9/2024), Cheptegei, seorang pelari maraton yang baru saja berpartisipasi di Olimpiade Paris, meninggal dunia di Rumah Sakit Pendidikan dan Rujukan Moi (MTRH) di Eldoret, Kenya. Ia mengalami kegagalan fungsi beberapa organ tubuh.
Advertisement
Menurut laporan, Cheptegei disiram bensin dan dibakar pacarnya, Dickson Ndiema Marangach, di rumahnya di Endebess, wilayah barat Trans-Nzoia, Kenya, Minggu, 1 September 2024. Insiden ini terjadi hanya beberapa minggu setelah Cheptegei berpartisipasi dalam maraton wanita di Olimpiade Paris, di mana ia finis di urutan ke-44.
Cheptegei mengalami luka bakar di tiga perempat tubuhnya, yang menyebabkan kematiannya empat hari kemudian. Presiden Komite Olimpiade Uganda (UOC), Donald Rukare, mengungkap kesedihan atas meninggalnya Cheptegei cuitan di X, sebelumnya Twitter.
"Kami mendengar tentang meninggalnya atlet Olimpiade kami Rebecca Cheptegei setelah serangan kejam oleh pacarnya," tulis Rukare sambil menyebut insiden tersebut sebagai tindakan pengecut dan tidak masuk akal yang telah merampas seorang atlet hebat dari negara itu.
Peter Ogwang, Menteri Negara Uganda untuk Pendidikan dan Olahraga, menggambarkan kematian Cheptegei sebagai peristiwa tragis dan menyatakan bahwa pihak berwenang Kenya sedang menyelidiki keadaan yang melatarbelakangi kejadian tersebut. "Laporan serta program yang lebih rinci akan diberikan pada waktunya," tambahnya.
Pada 2021, pelari Kenya yang memecahkan rekor, Agnes Tirop, juga ditemukan tewas ditikam di rumahnya di Iten. Mantan suaminya diadili atas pembunuhan tersebut, meski ia membantah tuduhan tersebut.
Pernyataan Keluarga dan Federasi Atletik
Orangtua Cheptegei, yang pergi ke Trans-Nzoia setelah kejadian tersebut, mengungkap bahwa putri mereka telah membeli tanah dan membangun rumah di daerah tersebut untuk tinggal selama pelatihan. Mereka juga menyebutkan bahwa Cheptegei bertemu Ndiema di Trans-Nzoia, dan serangan tersebut bermula dari pertikaian atas rumah yang dimilikinya.
Federasi Atletik Uganda mengecam insiden tersebut dan menyebut Cheptegei sebagai korban kekerasan. "Kami mengutuk tindakan seperti itu dan menuntut keadilan," kata badan olahraga tersebut dalam sebuah unggahan.
Sementara, Komite Olimpiade Uganda menyerukan tindakan cepat dalam sebuah pernyataan yang mengonfirmasi kematian Cheptegei. "Kami mendesak lembaga penegak hukum yang relevan untuk mengambil tindakan cepat dan tegas untuk membawa pelaku ke pengadilan atas tindakan pengecut dan menyedihkan ini", kata pernyataan tersebut.
Media Kenya melaporkan bahwa salah satu putri Cheptegei menyaksikan serangan tersebut di rumah ibunya. "Ia menendang saya saat saya mencoba lari untuk menyelamatkan ibu saya," kata gadis itu, yang tidak mau disebutkan namanya, pada surat kabar The Standard Kenya.
Advertisement
Perempuan di Kenya Serukan Keadilan
Kematian Cheptegei memunculkan kekhawatiran akan kekerasan yang dialami atlet perempuan di Kenya. Insiden ini terjadi dua tahun setelah atlet kelahiran Kenya, Damaris Mutua, ditemukan tewas di Iten, sebuah pusat lari terkenal di dunia di Lembah Rift.
Mengutip France 24, Jumat (6/9/2024), setelah kejadian yang menimpa Cheptegei, kelompok perempuan di Kenya menyerukan tindakan yang sudah lama tertunda untuk mengatasi kekerasan berbasis gender yang merajalela di negara Afrika Timur itu.
Diketahui Cheptegei merupakan ibu dari dua anak perempuan. Ia juga atlet perempuan ketiga yang terbunuh di Kenya sejak 2021. "Ini adalah pembunuhan terhadap perempuan," Njeri Migwi, pendiri Usikimye, sebuah organisasi yang memerangi kekerasan berbasis gender, di X setelah kematian Cheptegei.
"Pertama dan terutama, pemerintah perlu mengambil sikap," katanya pada AFP pada Rabu, 4 September 2024. "Karena pemerintah tidak benar-benar melakukan apapun tentang hal itu."
"Sebagian besar kekerasan ini, kekerasan berbasis gender, tidak dipandang sebagai kejahatan," tambahnya. "Sikap patriarki yang kita miliki di negara ini sangat menjijikkan."
Kekerasan Berbasis Gender di Kenya Memburuk
Migwi mengatakan, situasi yang menegangkan diperburuk ketika perempuan jadi pencari nafkah, bahkan sering kali menafkahi keluarga dekat dan jauh mereka, seperti dalam kasus Cheptegei. "Jika Anda melihatnya, itu adalah kekerasan finansial."
Statistik tentang jumlah korban kekerasan berbasis gender di Kenya sangat bervariasi, yang menurut para pegiat menutupi skala sebenarnya dari masalah tersebut. Pada 2022, tercatat 725 perempuan tewas dibunuh di Kenya terkait gender, tertinggi sejak 2015, menurut data yang dikumpulkan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan.
Femicide Count Kenya, yang mengambil data dari media lokal, mengatakan, 152 perempuan terbunuh pada 2023. "Jumlah yang mengejutkan ini hanya mewakili kasus-kasus yang dilaporkan di media, jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi," kata organisasi itu di situs webnya.
Africa Data Hub, yang bekerja sama dengan perusahaan ilmu data Odipodev dan Africa Uncensored, memperkirakan bahwa antara 2016 dan 2023, lebih dari 500 perempuan terbunuh. Ribuan perempuan berunjuk rasa di ibu kota Nairobi awal tahun ini, dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah memperlakukan kematian tersebut sebagai "bencana nasional."
Advertisement