DPR Minta Polisi Percepat Proses Hukum Pelaku Bullying PPDS Undip

Kasus ARL, Mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) atau PPDS Undip, yang diduga menjadi korban bullying oleh seniornya saat ini tengah diproses Kepolisian.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 06 Sep 2024, 11:33 WIB
Mahasiswi PPDS Undip Diduga Bunuh Diri Akibat Perundungan, Kemenkes Hentikan Sementara Prodi Anestesi RUSP Dr. Kariadi. Foto: Twitter @bambangsuling11.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus ARL, Mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) atau PPDS Undip, yang diduga menjadi korban bullying oleh seniornya saat ini tengah diproses Kepolisian. 

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, mendorong pengusutan kasus itu dipercepat.

"Saya mendorong agar kepolisian segera menangani kasus bullying ini secara cepat. Pasalnya, sudah banyak pengaduan yang disampaikan ke Kemenkes di luar kasus ini. Kalau terlambat ditangani, dikhawatirkan kasus serupa akan terus berlanjut," kata Saleh kepada wartawan, Jumat (6/9/2024).

Saleh mengaku sangat prihatin dan berduka atas musibah yang menimpa korban. “Apalagi, setelah kejadian ayahnya sangat sedih dan jatuh sakit hingga meninggal. Ibu dan keluarganya pasti sangat terpukul dan berduka," tutur Saleh.

Menurut Saleh, dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan kasus tersebut. Pertama, kata dia, polisi harus mengusut kasus serupa yang pasti ada di tempat lain.

"Kepolisian harus mengusut kasus ini dan kasus serupa di kota dan kampus-kampus lain. Karena itu, Kapolri harus ikut serta mensupervisi agar cepat tuntas," tutur dia.

"Kedua, Kementerian Pendidikan harus segera mengambil langkah-langkah proaktif yang diperlukan untuk menyetop kasus bullying di seluruh kampus dan rumah sakit. Jika ada temuan, segera diambil tindakan. Termasuk menjatuhkan sanksi bagi yang melakukan kesalahan," sambungnya.

Selain itu, Saleh meminta Kementerian Kesehatan turun tangan dan meningkatkan pengawasan di rumah sakit pendidikan.

"Kementerian Kesehatan dituntut untuk melakukan pengawasan terhadap rumah-rumah sakit pendidikan tempat mahasiswa PPDS belajar. Karena lokus kejadiannya di RS, maka Kemenkes harus ikut bertanggung jawab. Para pimpinan RS diminta tidak menutup mata pada kejadian seperti ini," katanya.

Ia mengingatkan, mata rantai perundungan harus diputus dan tidak boleh berulang.

"Ini terjadi antara senior ke junior. Berarti ada mata rantai keterhubungan. Ini yang saya bilang harus segera diputus. Peran kepolisian dan APH menjadi sangat penting," pungkasnya.


Kasus PPDS Anestesi Undip: Rekan Seangkatan Korban Bersuara soal Dugaan Dana Palakan Senior

Proses investigasi terus berlanjut terhadap kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dokter Aulia Risma Lestari.

Berdasarkan investigasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) ada dugaan Risma harus mengeluarkan atau dipalak sejumlah dana di luar biaya pendidikan resmi. Menurut Kemenkes RI, ada oknum di PPDS Anestesi Undip yang memalak uang senilai Rp20-40 juta.

Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser mengatakan Kemenkes RI terlalu cepat mengambil kesimpulan sebab belum tentu benar.

Hal itu disampaikan Nasser saat jumpa pers secara daring bersama Kolaborasi Anti-Korupsi yang terdiri dari LBH Undip, Badan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia serta Komite Solidaritas Profesi dan Satuan Anti Kebohongan, Senin (2/9/2024).

Nasser kemudian mengungkap keterangan dr Firda, salah satu teman seangkatan Almarhum Risma yang hadir dalam jumpa pers daring. Firda mengatakan apa yang disampaikan Kemenkes adalah tidak benar.

“Tidak benar adanya pemalakan atau pemungutan dari senior,” kata Firda seperti dikutip Selasa (3/9/2024).

Firda menuturkan, hal yang sebenarnya terjadi adalah dana kolektif satu angkatan PPDS yang diberikan oleh semua peserta didik.

“Nominalnya juga sesuai kesepakatan satu angkatan. Tidak ada patokan harga untuk kumpulan (patungan) satu angkatan itu per bulannya,” kata Firda.


Untuk Operasional Angkatan

Firda menyebut, dalam satu angkatan, total ada 11 mahasiswa-mahasiswi, termasuk almarhum. Tujuan dana digunakan untuk operasional angkatan dan biaya makan malam ketika bertugas.

“Dari rumah sakit hanya mendapat jatah makan siang, sehingga untuk makan malam para mahasiswa harus membeli sendiri,” jelas Firda.

Firda meluruskan soal nominal Rp40 juta. Sebab dana terkumpul sekira Rp15-20 juta dan dipakai untuk operasional. Selepas itu, tidak ada lagi.


Tak Ada Pemalakan

Senada dengan Firda, dr Angga, salah satu mahasiswa PPDS Undip yang lebih senior memastikan selama menjalani pendidikan tidak ada pemalakan dari pihak mana pun.

Menurut Angga, mahasiswa semester satu hanya diminta dana Rp 10 juta per orang untuk operasional angkatan selama satu semester.

“Itu juga bisa dicicil tidak harus cash (tunai). Saya pun cicil sebanyak empat kali,” ujar dia.

Jenis-jenis bullying yang patut diwaspadai. (dok. Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya