Kredit Perbankan Tembus Rp 7.515 Triliun per Juli 2024

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan kredit perbankan mencapai Rp 7.515 triliun hingga Juli 2024 atau meningkat sebesar 12,4 persen secara tahunan (yoy).

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 06 Sep 2024, 17:30 WIB
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae saat konferensi pers hasil RDK Juni 2024, Senin (8/7/2024). (Foto: tangkapan layar Tira Santia).

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan kredit perbankan mencapai Rp 7.515 triliun hingga Juli 2024 atau meningkat sebesar 12,4 persen secara tahunan (yoy). 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menjelaskan kredit investasi jadi penopang utama dengan pertumbuhan 15,2 persen secara tahunan. Kemudian kredit modal kerja naik sebesar 11,6 secara tahunan, serta kredit konsumsi 10,98 persen secara tahunan. 

Adapun capaian dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 8.687 triliun hingga Juli 2024, naik 7,72 persen secara tahunan. 

“Secara bulanan DPK mengalami kontraksi sebesar 0,4 persen,” kata Dian dalam konferensi pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan & Kebijakan OJK Hasil RDK Bulanan Agustus 2024, Jumat (6/9/2024). 

Selain itu rasio kredit terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) bank naik secara tahunan, dari 82,9 persen menjadi 86,51 persen. Kemudian, kredit dalam risiko atau loan at risk (LAR) perbankan per Juli 2024 berada pada posisi 10,27 persen turun dari bulan sebelumnya 10,51 persen.

Kemudian Dian menuturkan likuiditas bank masih dalam level yang memadai. Rasio alat likuid terhadap noncore deposit (AL/NCD) sebesar 109,20 persen dan alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) 24,57 persen. 


Begini Kondisi Terbaru Sektor Jasa Keuangan Indonesia

Ilustrasi OJK (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut sektor jasa keuangan masih terjaga stabil didukung permodalan yang kuat dan likuiditas memadai di tengah ketidakpastian global akibat meningkatnya tensi perang dagang dan geopolitik, serta perlambatan perekonomian global.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, mengatakan kinerja perekonomian global secara umum masih melemah dengan inflasi termoderasi diiringi dengan cooling down pasar tenaga kerja di AS.

“Di tengah ekspektasi pasar, terhadap penurunan suku bunga kebijakan dari bank sentral Amerika atau FFR di tahun 2024 ini,” kata Mahendra dalam konferensi pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan & Kebijakan OJK Hasil RDK Bulanan Agustus 2024, Jumat (6/9/2024). 

Mahendra menambahkan, di eropa indikator perekonomian belum solid di tengah inflasi yang persistence dan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga bank sentral pada September 2024. Begitupun di Tiongkok, pertumbuhan ekonomi juga melambat.

“Tensi geopolitik terpantau  meningkat sejalan dengan tingginya dinamika politik di Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden di bulan November serta potensi instabilitas di Timur Tengah dan Rusia akibat berlanjutnya perang di kawasan itu,” jela Mahendra.

Selain itu pelemahan demand secara global menyebabkan harga komoditas melemah. Meskipun begitu, Mahendra menjelaskan di tengah ekspektasi penurunan suku bunga oleh The fed dalam waktu dekat ini pasar keuangan emerging market mayoritas menguat terutama pasar obligasi dan nilai tukar.

Di pasar domestik sendiri, Mahendra menyebut kinerja perekonomian masih cukup positif dan cenderung stabil dengan tingkat inflasi inti yang masih terjaga dan neraca perdagangan surplus. Namun menurutnya perlu dicermati pemulihan daya beli relatif lambat akibat adanya ketidakpastian.

“OJK tetap mewaspadai faktor risiko tersebut dan potensi dampak rambatannya terhadap sektor jasa keuangan agar dpt mengambil langkah antisipatif dan minta industri memonitor down side risk secara berkala dan melakukan langkah mitigasi yang diperlukan,” pungkasnya. 


Survei OJK, Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Masih Minim

Logo OJK. Liputan6.com/Nurmayanti

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara berkala menyelenggarakan survei nasional literasi dan inklusi keuangan. Survei ini menghasilkan dua indeks, yang pertama indeks literasi keuangan dan yang kedua indeks inklusi keuangan.

Secara sederhana, indeks literasi keuangan itu menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap produk jasa keuangan yang digunakannya. Sedangkan indeks literasi dan indeks inklusi keuangan menggambarkan jumlah penggunaan produk dan pelayanan industri jasa keuangan.

Plt. Deputi Direktur Kantor OJK Provinsi Sumatera Barat, Irawati menerangkan, berdasarkan survei 2024, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia 2023 berada di angka 65,43%. Sedangkan indeks literasi keuangan adalah sebesar 75,02%.

Berdasarkan jenis layanannya, indeks literasi keuangan konvensional itu adalah 65,08% dan indeks literasi keuangan syariah itu adalah 39,11%. Kemudian untuk indeks inklusi keuangan konvensional itu 73,55% dan inklusi keuangan syariah di angka 12,88%.

"Jadi literasi dan inklusi keuangan syariah itu masih jauh di bawah indeks konvensional," kata dia dalam Seminar Merdeka Finansial 2024, Sabtu (31/8/2024).

Khusus di pasar modal, untuk indeks literasi keuangan pasar modal konvensional berada di angka 15,32%. Sedangkan indeks literasi pasar modal syariah di angka 5,48%. Untuk inklusi keuangan pasar modal konvensional di angka 1,60%. Sedangkan indeks inklusi keuangan pasar modal syariah itu jauh lebih kecil hanya di angka 0,37%.

"Kalau melihat indeks di pasar modal ini merupakan anomali dibandingkan dengan sektor jasa keuangan lainnya. Kalau di sektor jasa keuangan lain itu penggunanya banyak tetapi yang paham itu angkanya lebih kecil. Tapi kalau di pasar modal yang paham banyak tetapi yang menggunakan jauh lebih kecil. Jadi ini menjadi tantangan kita bersama bagaimana meningkatkan penggunaan pasar modal di masyarakat kita," kata Irawati.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya