Liputan6.com, Jakarta - Fenomena kotak kosong menjadi perhatian menjelang Pilkada 2024. Berdasarkan informasi dari Komisi Pemilhan Umum (KPU), hingga kini terdapat satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten yang berpotensi calon kepala derahnya melawan kotak kosong.
Kotak kosong muncul ketika suatu daerah yang menggelar Pemilu hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Sering kali, kotak kosong dianggap keuntungan oleh pasangan calon.
Baca Juga
Advertisement
Namun, calon tunggal tak selalu menang melawan kotak kosong. Contohnya, saat Pilkada 2018 di Kota Makassar, kotak kosong justru unggul melawan pasangan yang maju kala itu yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).
Lalu, apa itu kotak kosong dalam Pemilu?
Fenomena kotak kosong terjadi ketika suatu daerah hanya memunculkan satu calon kepala derah yang mendapat semua dukungan partai politik. Meski ada jalur lain yakni calon independen, namun syarat dan ketentuannya dirasa masih sangat ketat.
Dikutip dari kanal News Liputan6.com, Pengamat politik sekaligus Direktur Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengungkapkan bahwa fenomena kotak kosong sangat tidak sehat bagi demokrasi.
Penyebabnya, kata dia, semua partai politik memusatkan seluruh kekuatan politiknya pada satu pasangan calon saja. Menurut Ujang, hal ini justru berlawanan dengan teori demokrasi.
"Kotak kosong dalam demokrasi, enggak sehat. Karena demokrasi itu dalam teorinya mengharuskan kompetisi yang sehat. Kalau kompetisi itu kan harus ada lawannya dong, harus ada kandidat lain. Bukan kotak kosong. Kalau kotak kosong kan tidak bisa kampanye, tidak bisa sosialisasi, tidak bisa melakukan pembelaan, tidak punya visi misi, tidak punya program, tidak punya janji dan sebagainya," kata Ujang.
"Tetapi fakta dan kenyataannya seperti itu. Oleh karena itu, kita dalam arah demokrasi yang kurang sehat, tapi itu terjadi. Kenapa? Karena regulasinya juga membolehkan lawan kotak kosong. Makanya partai-partai melakukan borong partai untuk melawan kotak kosong, walaupun dalam koteks demokrasi itu kurang sehat," tutur Ujang.
Aturan terkait kotak kosong juga tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 tahun 2020. Berikut penjelasannya.
Pasal 14
Sarana yang digunakan untuk memberikan suara pada Pemilihan 1 (satu) Pasangan Calon menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto Pasangan Calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
Pasal 18
Pemberian suara Pemilihan 1 (satu) Pasangan Calon dilakukan dengan cara mencoblos 1 (satu) kali pada:
- kolom yang memuat foto atau nama Pasangan Calon; atau
- kolom kosong yang tidak bergambar.
Pasal 18A
Daftar Pasangan Calon dalam Pemilihan 1 (satu) Pasangan Calon memuat:
- nomor urut, foto, nama, serta visi dan misi Pasangan Calon; dan
- kolom kosong yang tidak bergambar.
Ini yang Terjadi Jika Calon Tunggal Kalah dari Kotak Kosong Pada Pilkada Serentak 2024
Sejumlah calon Pilkada 2024 di beberapa daerah dipastikan akan melawan kotak kosong. Mereka menjadi calon tunggal yang tidak punya lawan tanding. Meski calon tunggal, tidak serta merta bisa langsung melenggang dan terpilih. Calon tunggal bisa saja kalah, jika masyarakat lebih memilih kota kosong.
Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik mengatakan, ketika calon tunggal kalah maka sesuai ketentuan Pasal 54 D ayat 3 ada Pilkada ulang yang dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal lima tahun sekali.
"Jika nanti diselenggarakan di tahun berikutnya berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November 2025," kata Idham, di Jakarta, Minggu 1 September 2024.
Idham mengatakan, sesuai aturan yang ada calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024 harus memperoleh lebih dari 50 persen suara sah, dan jika tidak maka daerah tersebut dipimpin oleh penjabat.
"Jika hasil pemilihan nanti, di mana calon tunggal tidak memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pemerintah menugaskan penjabat gubernur, bupati, atau wali kota," tuturnya.
Idham menjelaskan, sesuai aturan yang tercantum itu terdapat dua alternatif ketika calon tunggal tidak dapat memperoleh lebih dari 50 persen suara sah.
Menurut dia, dua alternatif tersebut yaitu mengadakan pilkada ulang pada tahun berikutnya, dan bisa juga kebijakan itu dilaksanakan sesuai jadwal yang termuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 3 ayat 1 UU nomor 8 tahun 2015 yakni penyelenggaraan Pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Berarti ada dua alternatif tahun penyelenggaraan pilkada diulang kembali pada tahun berikutnya, atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa sampai tanggal terakhir pendaftaran yaitu pada 29 Agustus 2024 terdapat 43 calon tunggal terdiri dari satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten.
Advertisement