Sejarah Panjang Perayaan Maulid Nabi, Tercatat Sejak Masa Dinasti Abbasiyah dan Fathimiyah

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sudah menjadi sebuah tradisi yang terus diadakan hingga sekarang. Tak hanya pesantren, di sekolah bahkan di masyarakat pun kegiatan serupa digelar setiap tahunnya.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 08 Sep 2024, 12:30 WIB
Suasana keharuan dan kekhusyukan menyelimuti Pondok Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Klender saat Haul Muassis dan Maulid Nabi bersama ratusan jamaah yang berkumpul dalam doa bersama dan ikhtiar untuk menguatkan fondasi demokrasi di Indonesia. Kegiatan berlangsung di Pondok Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Klender, Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut pendapat yang populer, Nabi Muhammad SAW lahir pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah. Disebut tahun Gajah karena saat itu pasukan gajah yang dipimpin Abrahah melakukan penyerangan terhadap Makkah dan Ka’bah.

Setelah Rasulullah SAW wafat, hari kelahiran Rasulullah SAW diperingati oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Tak khusus pada tanggal 12, muslim Indonesia di beberapa daerah merayakan maulid nabi sepanjang Rabiul Awal.

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sudah menjadi sebuah tradisi yang terus diadakan hingga sekarang. Tak hanya pesantren, di sekolah bahkan di masyarakat pun kegiatan serupa digelar setiap tahunnya.

Namun ternyata, tidak semua muslim sepakat tentang perayaan maulid nabi. Sejumlah kalangan menyatakan kegiatan tersebut bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di zamannya.

Terlepas dari itu, menarik untuk diulas bagaimana awal mula kegiatan perayaan hari kelahiran manusia agung. Dikutip dari beberapa sumber, berikut sejarah Maulid Nabi Muhammad SAW yang sudah ada sejak masa Dinasti Abbasiyah.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Perayaan Maulid Nabi pada Masa Dinasti Abbasiyah

Ilustrasi maulid Nabi Muhammad saw. (Gambar oleh Mohammad Sheyriyar Shah dari Pixabay)

Perayaan maulid nabi ternyata sudah mulai dilakukan sejak abad kedua Hijriah. Pendapat ini tercatat dalam buku Sejarah Maulid Nabi (2015) karya Ahmad Tsauri. 

Dalam bukunya, Ahmad Tsauri merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa untuk menuliskan sejarah maulid nabi. Buku itu juga telah mendapat pengantar dari Habib Muhammad Luthfi bin Yahya.

Mengutip NU Online, buku tersebut juga menerangkan ada seorang bernama Khaizuran (170 H/786 M). Dia adalah ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid. 

Khaizuran datang ke Madinah dan memerintahkan penduduk mengadakan perayaan maulid nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW di Masjid Nabawi. Kemudian Khaizuran bertolak ke Makkah dan melakukan perintah yang sama kepada penduduk Makkah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. 

Khaizuran memerintah penduduk Madinah merayakan maulid nabi di masjid. Berbeda dengan penduduk Makkah, ia memerintah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW di rumah masing-masing.

Khaizuran merupakan sosok berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas (suami), Khalifah al-Hadi dan Khalifah al-Rasyid (putra). 

Memiliki pengaruh yang besar membuat Khaizuran mampu menggerakkan masyarakat muslim di Arab, termasuk untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dilakukan agar ajaran, teladan, dan kepemimpinan mulia Nabi Muhammad SAW bisa terus menginspirasi warga Arab dan umat Islam pada umumnya.


Versi Masa Dinasti Fathimiyah

Ilustrasi Maulid Nabi Muhammad saw. (Gambar oleh Mohammad Sheyriyar Shah dari Pixabay)

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, ada berbagai versi sejarah perayaan maulid nabi. Pendapat lain tentang sejarah perayaan maulid nabi pertama kali diadakan pada masa Dinasti Fathimiyah.

Mengutip kanal Citizen6 Liputan6.com dari Dream.co.id, naskah tertua mengenai peringatan maulid nabi adalah karya Jamaluddin Ibn Al Ma'mun, putra Al Ma'mun Ibn Bata'ihi, yang pernah menduduki posisi perdana menteri pada Dinasti Fathimiyah.

Karya tersebut dikutip oleh Al Maqrizi dalam kitabnya, Mawa'iz Al I'tibar fi Khitat Misr Wa Al Amsar. Akan tetapi, catatan Al Maqrizi menyebut peringatan maulid nabi diselenggarakan pada tanggal 13 Rabiul Awal.

Saat itu, khalifah Dinasti Fathimiyah menggelar peringatan maulid nabi dengan membagikan 6.000 dirham, 40 piring kue, gula-gula, caramel, madu, dan minyak wijen. Tidak ketinggalan 400 liter manisan dan 100 liter roti.

Peringatan itu kemudian selalu digelar pada 12 atau 13 Rabi'ul Awal oleh pemerintah. Biasanya diisi ceramah, pembacaan ayat suci Alquran, serta pemberian hadiah.

Saat Dinasti Fathimiyah runtuh oleh gempuran Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh utama Dinasti Ayyubiyah yang beraliran Sunni, tetap mengadakan peringatan Maulid. Peringatan ini dianggap sebagai wadah paling efektif dalam menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan Islam. Selain itu, juga membangkitkan semangat jihad pasukan Islam.

Catatan lain menyebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW juga digelar pada masa Dinasti Ayyubiyah di abad 10 Masehi. Tujuannya untuk memicu semangat mencontoh pribadi Nabi. Kala itu, kondisi umat sedang terpuruk lantaran gempuran Pasukan Salib. Semangat tempur pasukan Islam pun melemah.

Shalahuddin sebagai sultan sekaligus panglima perang menggembleng kembali semangat Pasukan Islam untuk bertempur melawan Pasukan Salib. Saat itulah maulid nabi dianggap sebagai tonggak kebangkitan umat Islam kala itu.

Hingga saat ini di banyak negara, termasuk Indonesia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan tradisi unik yang berbeda. Di Indonesia sendiri, biasanya masyarakat khususnya di Kediri memiliki ritual berebut uang koin yang dilaksanakan di dalam masjid.

Wallahu a’lam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya