Liputan6.com, Aceh - Ada sebuah nomor asing yang tiba-tiba menelepon hari itu. Seseorang di seberang telepon ingin bicara dengan Modina Ul-Shajida.
Siapakah gerangan orang tersebut? Modina Ul-Shajida dilanda rasa penasaran.
Perempuan itu saat ini tengah didera penyakit. Ia tampak ringkih.
Tangannya perlahan meraih telepon genggam. Keningnya menyiratkan tanda tanya.
"Ibu...," sapa orang yang ada di seberang telepon.
Seketika raut wajah perempuan itu berubah. Ia hampir menjatuhkan benda bersuara itu saking terkejutnya.
Perempuan sangat mengenal suara anak muda yang ada di seberang telepon. Itu adalah suara anak laki-lakinya: Fayruz.
Baca Juga
Advertisement
Ia tidak dapat membendung rasa rindunya. Kini ia dan anak muda itu sama-sama meluapkan emosi satu sama lain.
Itu adalah gambaran yang dapat dibayangkan ketika pertama kali Fayruz menelpon ibunya setelah beberapa waktu lamanya mereka tidak berpisah.
Fayruz sebelumnya adalah seorang pemuda yang tinggal di kamp pengungsi Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh.
Kamp pengungsian di Cox's Bazar merupakan kantong pengungsi terbesar dan sekaligus paling menyesakkan di dunia.
Pengungsi yang tinggal di tempat adalah etnis Rohingya yang melarikan dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar karena adanya upaya "pembersihan etnis".
Myanmar melalui kekuatan militernya memborbardir desa-desa setempat, dan membunuh orang-orang.
Etnis Rohingya sebenarnya telah menempati Myanmar selama berabad-abad. Namun, mereka mulai diperlakukan secara tidak adil sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada 1940-an.
Kebijakan yang menempatkan etnis Rohingya secara tidak setara pun mulai diberlakukan dari hulu ke hilir. Perlahan kebijakan-kebijakan ini berubah jadi kekerasan sistematis.
Sejumlah operasi militer untuk mengusir etnis Rohingya dilangsungkan. Terbesar pada 2017 yang melahirkan gelombang pengungsian ke Bangladesh, negara tetangga Myanmar.
Fayruz dan keluarganya adalah salah satu kelompok yang ikut lari pada 2017. Tanggal 25 tahun itu kelak dikenal dan diperingati sebagai hari genosida Rohingya.
Fayruz merupakan anak muda yang penuh semangat. Dia amat suka bicara, seperti tak ada habisnya.
Aku pikir kebanyakan anak-anak muda Rohingya yang aku jumpai di kamp Cox's Bazar adalah tipikal orang yang suka sekali bicara. Sangat.
Aku akhirnya memaklumi hal ini sebagai bentuk kompensasi mereka karena selama ini mereka tidak pernah memiliki ruang untuk bicara, terutama tentang apa yang mereka alami di Rakhine.
Mereka hanya butuh untuk didengarkan, setidaknya itulah yang bisa mereka lakukan saat ini. Mereka juga butuh amplifikasi, atau paling tidak tempat berbagi.
Namun, Fayruz tidak ada di antara anak-anak muda yang aku temui di Bangladesh; aku bertemu dengannya di Indonesia.
Di Kutupalong, aku berkesempatan ikut makan siang bersama sejumlah teman serta istri di rumah keluarga Fayruz. Tentu saja Fayruz tidak ikut makan bersama kami karena dia berada ribuan mil jauhnya di seberang lautan.
Aku sempat bertemu dengan Modina Ul-Shajida, ibunya Fayruz. Perempuan itu ditinggalkan oleh Fayruz dalam kondisi sakit.
Mengapa Anak Muda itu Meninggalkan Bangladesh?
Kamp Kutupalong terdiri dari Kamp 1E, 1W, 2E, 2W, 3, 4, 4 Extension, 5, 6, 7, 8E, 8W, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 20 Extension berdasarkan data Komisi Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Bangladesh tahun 2020.
Peningkatan jumlah pengungsi secara massif pada 2017 membuat kamp itu diisi oleh hampir satu juta pengungsi dengan luas areal lahan mencapai 13 kilometer persegi.
Namun, para pengungsi hidup dalam ruang yang padat berdebu, terdiri dari rumah anyaman bambu dan terpal di atas tanah liat yang bergelombang dengan kecuraman yang ekstrem.
Kebakaran, banjir, serta perang antargeng menghiasi kamp. Banyak yang merasa begah tinggal di sana.
Keselamatan nyawa para pengungsi tidak bisa diterka. Ini adalah perjudian yang tidak adil sama sekali. Mereka terancam di mana-mana.
Di Myanmar. Di Bangladesh.
Fayruz bercerita bahwa suatu malam sekelompok orang datang mendobrak masuk ke rumahnya. Jumlahnya sekitar 10 atau 12 orang.
Orang-orang yang memangku senjata api ini datang bukan untuk bertamu.
"Mereka datang ke kamp sekitar tengah malam," cerita Fayruz kepada saya beberapa waktu yang lalu.
Mereka datang membawa mimpi buruk. Mereka mengikat Jamil Ahmed, ayah Fayruz lalu mulai menganiaya laki-laki tua itu.
Mereka menusuknya dengan pisau lalu pergi begitu saja. Mereka meninggalkannya dalam keadaan terkulai lemas bersimbah darah.
Jamil Ahmed sempat dibawa ke rumah sakit. Namun, nyawanya tidak tertolong.
Penyekapan ini diyakini ada kaitannya dengan aktivitas ayah Fayruz yang terlibat dengan kegiatan kemanusiaan membela hak kaum Rohingya. Ayahnya juga seorang pebisnis.
Ini juga bisa berkaitan erat dengan pungutan liar terhadap penduduk di kamp dengan alasan solidaritas untuk gerakan kemerdekaan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok militansi.
Kamp telah menjadi wilayah perebutan kekuasaan dan jadi arena pertempuran antarkelompok militansi.
Kelompok-kelompok ini merupakan perpanjangan tangan dari kelompok yang lebih besar di Myanmar yang lahir untuk melawan junta militer Myanmar.
Myanmar memang dihiasi oleh sejumlah kelompok pembebasan berbasis etnis.
Beberapa nama yang muncul seperti Rohingya Independence Force, Rohingya Solidarity Organisation (RSO), Arakan Rohingya Islamic Front, Rohingya Solidarity Alliance, dan Rohingya Patriotic Front, dan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Selain itu, juga terdapat AA atau Arakan Army yang telah berganti nama menjadi Arakha Army, bagian dari sayap militer United League of Arakan (ULA) yang didirikan oleh mantan pejabat pemerintah Myanmar bernama Twan Mrat Naing pada 2009 bertujuan melawan militer Myanmar.
AA atau Arakha Army secara etnis dimotori oleh orang-orang dari kalangaa Buddha, tetapi mengeklaim inklusifisme.
Kamp menjadi salah satu lumbung kader selain juga sebagai ajang unjuk kekuatan.
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) pernah berusaha merekrut Fayruz. Apa jawaban dia?
"Saya menolak dan saya mengabaikan permintaan mereka," tutur Fayruz.
Ia ragu. Terlalu banyak kekerasan yang kelompok-kelompok ini pertontonkan di kamp.
Perjuangan mereka tampak penuh pemaksaan. Penuh kekerasan.
"Secara politik mereka tidak melakukan apa pun untuk Rohingya. Mereka hanya ingin menghancurkan kami," tegas Fayruz.
Inilah salah satu alasan mengapa akhirnya Fayruz memilih keluar dari kamp.
Kamp jadi tempat para penyelundup manusia mencari mangsa.
Mereka dapat dengan mudah menemukan orang-orang putus asa seperti Fayruz. Hidup kamp seperti hidup di dalam ghetto.
Ada tempat bagi kehidupan yang diimpikan setiap orang di luar sana. Fayruz pun tergoda.
Dengan membayar uang sekitar Rp11 juta jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah, ia pun berangkat.
Desember 2022, Fayruz naik sebuah kapal bersama 185 orang lainnya, melewati perjalanan yang penuh pertaruhan antara hidup dan mati.
Dia melewati sebuah perjalanan seperti yang dilewati oleh banyak pengungsi Rohingya yang berusaha untuk hidup lebih baik. Perjalanan itu memakan waktu hampir satu bulan.
Tetapi, perjalanan itu memang amat pahit. Hari kesembilan, para penumpang itu menderita, seorang anak kecil bahkan harus dikubur di lautan karena kapal kekurangan logistik.
Ada lima puluh orang lebih anak-anak di atas kapal itu.
“Semua orang mulai menangis. Kami tidak punya pilihan lain. Tidak ada yang datang menolong kami. Seandainya kapal kami berada dekat dengan pantai atau pedesaan maka kami memiliki harapan bahwa setidaknya kami selamat.
Kami juga berharap bahwa mungkin suatu hari akan ada yang melihat kapal kami dan mereka akan datang menyelamatkan kami,” kenang Fayruz.
Mereka sempat dibantu oleh kapal India, tetapi mereka kembali terombang-ambing tanpa minyak dan logistik.
Kapten kapal itu membohongi mereka. Para penumpang ditinggalkan begitu saja setelah kapten itu dijemput oleh kapal lain.
Kapal itu dibawa oleh angin. Entah ke mana.
Suatu hari, di tengah rasa putus asa, di kejauhan mulai terlihat daratan asing.
Mereka bersorak kegirangan. Harapan baru saja muncul.
Segera setelah kapal menepi, para penumpang melompat ke pantai dengan sisa-sisa tenaga.
"Kami terjatuh dan terbaring di atas pantai karena semua orang sakit," kisah Fayruz.
Tanah yang mereka injak itu bernama Aceh. Sebuah tempat di ujung utara pulau Sumatera.
Fayruz bersama 180 lebih penumpang dari Bangladesh itu mendarat di pantai Kuala Gigieng, Desa Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar pada 8 Januari 2023.
Fayruz berhasil meminjam telepon genggam seorang warga. Ia harus segera memberitahu ibunya bahwa ia baik-baik saja.
Sebulan yang lalu, ia berbohong kepada Modina Ul-Shajida dengan mengaku pergi ke kota untuk sebuah pekerjaan. Padahal, ia pergi naik kapal menyeberang lautan.
Mereka kelak diungsikan ke sebuah bangunan bekas Yayasan Mina Raya, di Pidie. Di tempat itulah Fayruz mencoba mengubah hidupnya.
Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang baik, Fayruz kerap diminta tolong oleh organisasi kemanusiaan di kamp sebagai penerjemah bahasa Rohingya.
Ia digaji. Uang gaji inilah yang kemudian oleh bantuan seseorang dari organisasi kemanusiaan dikirim ke Bangladesh untuk mengobati ibunya yang menenteng tumor sejak dari Myanmar.
Fayruz termasuk beruntung. Cita-cita untuk melanjutkan pendidikan yang selama ini ia idam-idamkan akhirnya tercapai.
Ia kini mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Bosowa, Makassar.
Kesempatan ini merupakan program afirmasi khusus pengungsi. Dia dibantu oleh teman-teman pekerja kemanusiaan yang memberitahunya tentang kesempatan itu.
Dia mulai kuliah pada 16 April 2024 setelah diberi izin oleh pihak keimigrasian pada 23 Maret 2024.
Dalam sebuah acara yang diinisiasi oleh KontraS Aceh pada Maret 2024 lalu saya sempat bertanya kepada Fayruz.
Perjuangan seperti apa yang akan kamu berikan kepada kaummu dengan pendidikan yang sedang kamu tempuh ini?
Fayruz mengatakan bahwa ketika dirinya punya kesempatan nanti, ia ingin bertanya sendiri mengapa pemerintah Myanmar berusaha membinasakan etnis Rohingya.
Selain, itu bagaimana pun caranya nanti, ia ingin mendorong sebuah upaya agar apa yang dialami oleh etnis Rohingya dipertanggungjawabkan di ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) dan Mahkamah Internasional (ICJ).
Advertisement