Investasi Turun, Bauran Energi Bersih Indonesia Baru 13,9%

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, bauran energi baru terbarukan (EBT) sepanjang Januari-Juni 2024 mencapai 13,93 persen.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Sep 2024, 14:40 WIB
Kementerian ESDM menyatakan, bauran energi bersih di Indonesia sepanjang semester I 2024 belum mencapai target. (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Eniya Listiani Dewi mengumumkan, bauran energi bersih di Indonesia sepanjang semester I 2024 belum mencapai target. 

Menurut catatannya, bauran energi baru terbarukan (EBT) sepanjang Januari-Juni 2024 baru mencapai 13,93 persen. Itu sekitar 71,4 persen dari target bauran energi bersih dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), sebesar 19,5 persen.

"Kalau kita lihat capaian di 2024 saat ini itu di 13,93 persen. Bauran EBT kita tahun depan 2025 sekiranya bisa tercapai 23 persen sesuai dengan KEN dan sebelumnya adalah 19,5 persen," terang Eniya dalam sesi temu media di kantornya, Jakarta, Senin (9/9/2024).

Eniya menyebut rendahnya realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) ini tak lepas dari belum tercapainya target investasi di sektor energi hijau.  Sebagai perbandingan, investasi EBT di Indonesia pada 2023 lalu mencapai USD 1,48 miliar. Sementara hingga Agustus 2024, realisasinya baru mencapai kisaran USD 580 juta, atau baru memenuhi 46,8 persen dari target USD 1,23 miliar.

"Pasti ada banyak pertanyaan tentang kenapanya. Itu kalau kita lihat ada investasi yang belum tercapai, lalu komitmen untuk menjalankan investasi tersebut. Termasuk, infrastruktur yang saat ini kita dorong dan saat ini kita ingin capaian yang lebih jelas lagi," imbuh Eniya.

Sebelumnya, Eniya menyampaikan, Indonesia butuh suntikan investasi dana USD 14,2 miliar dalam rangka meningkatkan kapasitas listrik dari sumber EBT.

Suntikan investasi itu diperlukan guna mendongkrak kapasitas listrik EBT menjadi 8,2 gigawatt (GW), sebagai upaya memenuhi komitmen Indonesia dalam Paris Agreement dan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

"Kita memerlukan investasi hingga tahun depan (2025) investasi hingga USD 14,2 miliar guna menaikkan kapasitas dari renewable itu hingga 8,2 gigawatt," ujar Eniya beberapa waktu lalu. 

 

 


Tawarkan Panas Bumi kepada Investor

Indonesia memiliki kapasitas terpasang panas bumi terbesar ke-2 di dunia dan sudah dimanfaatkan sebesar 2.175,7MWe atau 9 persen untuk Pembangkit Tenaga Panas Bumi (PLTP). (Dok Pertamina)

Suplai dana ini diperlukan guna meningkatkan bauran energi terbarukan dari 13 persen menjadi setidaknya sebesar 21 persen pada 2025. Dia mengklaim bahwa peningkatan bauran EBT tahun depan perlu dana investasi yang sangat besar.

"Jadi memang perlu dana yang besar, tetapi bukan tidak mungkin," tegas Eniya.

Menurut dia, ada beberapa sumber energi terbarukan yang melimpah, mulai dari solar atau surya sebesar 3.294 GW, angin 155 GW, air 95 GW, arus laut 63 GW, BBN 57 GW, serta panas bumi sebesar 23 GW.

Khusus untuk panas bumi, mengingat perannya yang sangat besar untuk mewujudkan NZE, Eniya telah menawarkan pengembangannya kepada investor. Saat ini, sumber daya panas bumi baru termanfaatkan baru 2,6 GW dari potensi sekitar 23 GW.

"Sehingga ketersediaannya untuk dimanfaatkan masih sangat terbuka, sudah kita tawarkan ke berbagai pihak dan sekarang sudah ada yang di-develop. Ada yang masih kita tawarkan kepada investor yang berminat mengembangkan panas bumi di Indonesia," tuturnya.

 


Bahlil Rayu China Tanam Investasi Energi Baru Terbarukan di Indonesia

Untuk diketahui, proses pelantikan Bahlil sebagai Menteri ESDM berlangsung di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin ini. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia secara resmi membuka ajang The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF), Selasa (3/9/2024).

Pada kesempatan itu, Bahlil menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen menjaga stabilitas investasi China di Tanah Air agar tetap berjalan dengan baik.

"Saya tawarkan kepada teman-teman investor Tiongkok beberapa potensi yang dapat kita kembangkan bersama. Di sinilah pertemuan untuk menemukan formulasi yang tepat dalam rangka pengembangan bisnis bersama,” kata Bahlil saat membuka acara.

Sektor energi, sambung Bahlil, memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan perekonomian dan kemajuan teknologi antarkedua pihak. "Kami berkomitmen memajukan tujuan bersama yang mencakup pengembangan energi berkelanjutan, inovasi teknologi, dan pertumbuhan ekonomi," tegasnya.

Bahlil menyinggung transisi energi sebagi terobosan utama dalam mewujudkan komitmen global guna mencapai dekarbonisasi. Indonesia bahkan menunjukkan sikap serius atas upaya tersebut kepada Pemerintah China.

"Kami telah mengembangkan Peta Jalan Emisi Nol Bersih atau Net Zero Emission (NZE) yang komperhensif di sektor energi," ungkapnya.

Terkait hal tersebut, Pemerintah RI menawarkan peluang kolaborasi kepada China. Tawaran ini atas dasar besarnya potensi sumber daya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dimiliki oleh Indonesia, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kayan (13.000 MW) dan Mamberamo, Papua (24.000 MW).

"Ini sebuah potensi yang kita tawarkan ke Tiongkok untuk bisa berkolaborasi bersama. Ini tidak mungkin kita lakukan sendiri," kata Bahlil.

Aspek lain yang menjadi fokus pemerintah di masa mendatang, keberadaan hilirisasi yang berorientasi green energy dan green industry. "Kunci dari implementasi kebijakan ini adalah keberadaan listrik," imbuhnya.

 

 


Transisi Energi

PLTB ini bisa mengaliri listrik 360 ribu pelanggan 450 KV. Proyek ini bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW, sekaligus bagian dari upaya Pemerintah mencapai target bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025.

Untuk itu, berdasarkan roadmap transisi energi, pemerintah Indonesia menerapkan strategi menuju karbon netral dari sisi suplai, seperti fokus pada pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, dan hidrogen. Di samping itu, langkah lain yang diambil adalah penghentian pembangkit listrik batubara secara bertahap, dan penggunaan teknologi rendah emisi, yaitu teknologi CCS/CCUS.

Sementara dari sisi demand, antara lain pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, pemanfaatan biofuel, dan penerapan manajemen energi.

Bagi Indonesia, kemampuan mencapai NZE pada 2060 harus tetap mempertimbangkan konteks dan kondisi nasional di masing-masing negara. Misalnya, Indonesia masih mengoptimalkan pengembangan energi fosil selaras dengan kemajuan masif pembangunan infrastruktur energi bersih.

"Kita sedang mengkaji, memperhitungkan, dan mengkalkulasi tentang kebutuhan (energi) dalam negeri dengan geopolitik ekonominya," ujar Bahlil.

Ia meyakini, kerja sama dan program yang telah dihasilkan di bawah kerangka bilateral Indonesia-China terus menunjukkan progres yang signifikan. "Tidak perlu ada keraguan dalam kebersamaan (kerja sama) ini. Saya yakin yang pertama dalam investasi adalah nyaman. Dan Indonesia menawarkan rasa kenyamanan itu," tegasnya.

Ke depan, kemitraan yang tengah dijalin di sektor energi harus saling menguntungkan kedua belah pihak. "Kami akan membuka ruang yang sebaik-baiknya untuk melakukan bisnis di Indonesia dengan tetap memperhatikan aturan dan harus menguntungkan semuanya," ucapnya.

 


Prospek Cerah

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tanah Laut, Kalimantan Selatan, berkapasitas 70 MW.

Hal senada disampaikan oleh Administrator of National Energy Administration (NEA) China, Zhang Jianhua. Pemerintah China disebut melihat prospek cerah dari hubungan bilateral tersebut.

"Indonesia dan Tiongkok dalam proses pembangunan (energi) memiliki konsep yang sama. Kami membahas kemitraan strategis dalam mempengaruhi pasar dunia Internasional," kata Zhang.

Transfer teknologi dan sumber daya manusia (SDM) oleh China diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan ketahanan energi domestik. "Kerja sama di bidang energi adalah kerja sama yang solid untuk menyukseskan kesejahteraan rakyat," pungkasnya.

Diketahui, Indonesia-China memiliki memiliki forum bilateral rutin 2 tahunan yaitu Indonesia-China Energy Forum (ICEF) yang dipimpin oleh Menteri ESDM RI dan Administrator National Energy Agency (NEA) China.

Forum ini pertama kali diselenggarakan pada 2002 dan dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah dan kalangan pengusaha Indonesia dan China. Pertemuan ICEF telah digelar sebanyak enam kali, dimana ICEF ke-6 diselenggarakan pada 8-9 Juli 2019 di Beijing. Setelah Indonesia menjadi tuan rumah pada pertemuan ICEF Ke-7 tahun ini, selanjutnya NEA China akan menjadi tuan rumah ICEF KE-8 2025.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya