Liputan6.com, Jakarta Pemerintah saat ini tengah menggodok single identity number (SIN) yang merupakan bagian dari pengembangan government technology (Govtech). Pengembangan itu pun dinilai pemerintah punya banyak manfaat, salah satunya untuk memperoleh pupuk bersubsidi dan akan diserahkan langsung secara tunai (bantuan langsung tunai/BLT) kepada petani.
Namun pengembangan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) misalnya yang menilai agar wacana penggantian subsidi pupuk dengan cara BLT dibatalkan. DPR menilai bahwa mekanisme BLT berpotensi menimbulkan masalah baru dan merugikan petani yang terus berproduksi.
Advertisement
"Kalau diganti BLT, apakah akan mengikuti harga pupuk subsidi atau non subsidi? Jadi jangan sampai malah perusahaan pupuknya yang dapat subsidi, bukan petani yang melakukan kegiatan produksi pertanian. Secara tegas saya tidak setuju subsidi pupuk diubah dalam bentuk BLT. Sebab hal ini akan merugikan petani, dan menyebabkan harga pupuk semakin mahal," ujar Johan Rosihan sebagai Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS beberapa waktu lalu.
Diketahui bahwa usul mekanisme tersebut datang dari Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Usul tersebut, kata Johan, dikhawatirkan bukan hanya dapat merugikan petani. Namun juga dinilainya tidak sesuai dengan tujuan dari adanya subsidi pupuk, yaitu agar harga yang beredar di pasar tidak memberatkan para petani, dalam meningkatkan produksi pertanian.
"Lagi pula BLT yang diterima itu akan tidak fokus untuk tujuan pembelian pupuk dan sangat rentan digunakan untuk keperluan lainnya. Saya mengimbau agar pemerintah lebih fokus pada distribusi pupuk bersubsidi yang lebih tepat sasaran. Kemudian juga pemerintah harus lebih tegas terhadap segala permainan dan penyimpangan di lapangan. Ingat, tujuan utama dari subsidi pupuk itu adalah tepat sasaran sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah," ujar Johan.
Para petani dari Jember yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan Asosiasi Kios Pupuk misalnya, mereka sepakat menolak wacana tersebut. Mereka menilai, subsidi dalam bentuk bantuan langsung sangat kontraproduktif dan rentan meleset dari sasaran.
Pernyataan itu dilontarkan bukan tanpa alasan. Mereka melihat bahwa data petani saat ini belum tersusun dengan rapi, mulai dari tingkat bawah hingga klaster petani. Sekretaris KTNA Kabupaten Jember, Hendro Handoko mencontohkan, seperti petani pemilik sawah, petani penyewa, petani penggarap dan buruh tani.
"Belum lagi soal peralihan hak kelola sawah, baik melalui jual beli, gadai atau sewa menyewa. Padahal, yang masuk dalam Sistem e-RDKK (Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) adalah pihak pertama. Dan e-RDKK inilah yang selama ini menjadi acuan pemerintah menggelontorkan pupuk subsidi ke petani," kata Hendro.
Oleh karena itu, Hendro meminta pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan wacana yang dalam praktiknya, berpotensi memunculkan persepsi yang keliru. Harusnya, saran Hendro, pemerintah lebih dulu memperbaiki data petani dan sistem yang bakal digunakan sebagai acuan penyaluran subsidi, sehingga bisa tepat sasaran.
"Dan menurut saya, distribusi pupuk ini akan lancar jika masalah-masalah teknis itu bisa diperbaiki. Contohnya tentang I-Pubers (aplikasi penyaluran pupuk bersubsidi), kadang-kadang satu hari bahkan bisa dua hari terkendala, sehingga tidak bisa menyalurkan," katanya.
Untuk informasi, penolakan yang sama juga diutarakan para petani Jatim yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim, Pemuda Tani Indonesia, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tunas Harapan Desa Sumberdanti, Kecamatan Sukowono dan juga para petani dari KTNA maupun petani penggarap lainya.
(*)