Liputan6.com, Jakarta - Setahun sudah tragedi bentrokan warga Pulau Rempang dengan tim terpadu Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang terdiri dari gabungan TNI-Polri, Ditpam Satpol PP dan unsur aparat kota lainnya, pada 7 September 2023 di Tanjung Kertang (Jembatan IV) Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Dalam tragedi itu delapan warga Rempang ditangkap lantaran dituduh sebagai provokator. Belakangan, mereka dilepas karena tak terbukti.
Baca Juga
Advertisement
Memperingati peristiwa ini, warga Pulau Rempang menggelar prosesi tabur bunga, orasi, dan atraksi budaya di lokasi bentrokan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh ratusan warga yang turut mengenang kejadian yang melibatkan 1.010 aparat gabungan dengan masyarakat setempat.
Acara dimulai dengan pawai kendaraan yang bergerak dari Simpang Dapur Enam hingga ke Tanjungkertang, diikuti oleh prosesi tabur bunga sekitar pukul 15.00 WIB di Jembatan 4 Barelang. Ibu-ibu setempat turun dari kendaraan, menaburkan bunga di jalan sebagai simbol duka dan harapan akan perubahan.
Setahun sebelumnya, pada 7 September 2023, bentrokan pecah antara warga Pulau Rempang dan aparat, di mana pihak keamanan menggunakan semprotan air, gas air mata, dan peluru karet.
Peristiwa itu menyebabkan banyak korban, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua yang harus dilarikan ke rumah sakit.
Setelah prosesi tabur bunga, warga duduk melingkar, berdoa bersama untuk memperjuangkan kampung mereka.
"Di sinilah, kami mengingat setahun yang lalu, sakitnya hati kami atas perlakuan aparat. Kami sudah satu tahun berjuang, dan kami akan terus berjuang," kata Miswadi, salah satu warga yang berpartisipasi.
Simak Video Pilihan Ini:
Konvoi dan Orasi
Kemudian warga melanjutkan konvoi menuju Lapangan Sepak Bola Kampung Sembulang, sebagimana kala itu tim gabungan dari BP Batam memukul mundur Warga Rempang.
Setelah tiba di Dataran Haji Muhamad Mussa (Lapangan Bola) Kecamatan Galang warga menggelar salat hajat usai setelah menunaikan Salat Maghrib. Doa dipanjatkan untuk kekuatan dan ketabahan dalam mempertahankan kampung, serta untuk leluhur yang lebih dulu berjuang menjaga tanah mereka.
Acara berlanjut dengan orasi bersama, di mana warga menyalakan obor dan flash smartphone sebagai simbol perjuangan. Mereka dengan penuh semangat membacakan Sumpah Masyarakat Rempang.yang isinya sebagai berikut:
"Sumpah Rakyat Rempang- Galang "
Kami rakyat Rempang Galang bersumpah: Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan Berbahasa satu, bahasa tolak relokasi
Teriakan warga menggema, membangkitkan semangat perlawanan mereka. Cuplikan video bentrokan yang terjadi setahun lalu juga diputar, memperlihatkan warga yang bertahan di tengah serangan aparat.
Advertisement
Akan Terus Berjuang
Mimbar bebas dibuka oleh salah satu tokoh perempuan Rempang Siti Hawa yang usianya hampir mendekati Tiga Perempat Abad (71) atau yang akrab di sapa warga Mak Aweu, dengan pesan agar warga tetap kompak, karena dukungan dari masyarakat di seluruh Indonesia sangat besar.
"Nenek terus berjuang. Karena banyak yang berjuang bersama kita," ujar Nenek dengan suara lantangnya.
Gerisman Ahmad (64), seorang tokoh masyarakat, juga mengingatkan bahwa menjaga kampung dari ancaman relokasi adalah kewajiban. Menurutnya, kampung adalah identitas masyarakat Melayu, dan hilangnya kampung berarti hilangnya marwah Melayu. "Tidak ada marwah Melayu kalau kampungnya hilang," tegas Gerisman.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengapresiasi perjuangan masyarakat yang tidak kenal lelah. Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, menyatakan bahwa tim advokasi akan terus mendampingi warga selama mereka memerlukan dukungan. "Masyarakat tidak sendiri. Kita akan berjuang bersama untuk menggapai keadilan."
Ahlul Fadli, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim dari Walhi Riau, menegaskan bahwa perjuangan warga Rempang telah berhasil menggoyahkan kepentingan pemerintah dan investor, PSN Rempang Eco City. Ia mengingatkan bahwa para pemimpin seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat sesuai ajaran budaya Melayu.