Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus dugaan korupsi timah yang disebut merugikan keuangan negara Rp 300 triliun dengan terdakwa Harvey Moeis masih berlanjut, Senin (9/9/2024). Pada kesempatan ini, salah seorang saksi dihadirkan oleh Jaksa adalah Ayu Lestari Yusman selaku manajer keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Dalam kesaksiannya, Ayu mengungkap PT RBT telah membayar dana jaminan reklamasi sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pelestarian lingkungan di wilayah tambang tempat beroperasi.
Advertisement
“Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup itu dibayarkan perusahaan saat mengajukan IUP wilayah pertambangan seperti amanah Pasal 43 Ayat (2) butir (a) UPPLH,” kata Ayu dalam persidangan, seperti dikutip Selasa (10/9/2024).
Ayu menjelaskan, dana jaminan pemulihan lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
"PT RBT pernah menempatkan jaminan reklamasi setiap tahunnya," ungkap Ayu.
Soal nominal, Ayu menyebut ratusan juta. Tetapi detilnya, ia mengaku tak ingat. Hanya saja, dia menegaskan nominal dibayarkan sudah sesuai dengan ketentuan dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) setempat.
Dalam kesempatan itu ia juga memastikan bahwa dalam menjalankan kegiatannya, PT RBT memperoleh bijih timah dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah.
"Bijih timah yang dipergunakan untuk kerja sama adalah bijih timah yang diperoleh langsung dari IUP PT Timah," dia menandasi.
Tak Ada Kawasan Hutan yang Ditambang
Sebagai catatan, kesaksian Ayu meluruskan tuduhan yang menyebut kegiatan pertambangan dilakukan hingga ke kawasan hutan lindung dan merusak lingkungan.
Sebab pernyataan saksi lainnya yang hadir dalam persidangan di hari yang sama. Kurniawan Efendi Bong selaku Direktur CV Teman Jaya juga mengatakan lahan tempat aktivitas pertambangan merupakan tanah perkebunan baik miliknya maupun wilayah masyarakat lain yang ia beli.
"Tidak ada kawasan hutan yang ditambang, PT Timah sudah menentukan tidak ada penambangan di hutan," tegas dia.
Kurniawan juga menegaskan PT Timah merangkul masyarakat menggunakan CV termasuk CV Teman Jaya miliknya. Hal itu sejalan dengan aturan Pola kemitraan dalam Pasal 136 UU Pertambangan.
“Pemilik IUP harus menyelesaikan hak atas tanah sebelum melakukan operasi,” sebut Kurniawan.
Pola kemitraan dengan masyarakat ini sendiri dipandang sebagai win-win solution karena pada faktanya, tanah yang dikuasai oleh PT Timah jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total luas lahan pada IUP PT Timah, sehingga menyebabkan konflik antara masyarakat dengan PT Timah.
Advertisement
Kerugian Negara di Kasus Dugaan Korupsi Timah Harus Dikaji Lagi
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Harvey Moeis merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun, dalam kasus dugaan korupsi timah yang masih terus bergulir.
Berdasarkan surat dakwaan, kerugian timbul dari pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Menanggapi hal itu, Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Eka Mulya Putra menyatakan, ada hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung jumlah kerugian. Sebab, bisa saja hal itu tak sepenuhnya ditanggung oleh mereka yang sedang dalam proses hukum.
“Penambangan timah di Bangka Belitung (Babel) sudah berlangsung sejak lama, berlangsung bertahun-tahun. Jadi seharusnya tidak menjadi beban semata bagi mereka yang baru terlibat dalam pengusutannya dari tahun 2015 hingga 2022," kata Eka, seperti dikutip Jumat (6/9/2024).
Eka mencatat, sejarah penambangan timah di wilayah diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya hingga zaman kolonial. Artinya, masalah yang ada jauh lebih kompleks dengan sejarah yang panjang.
“Sehingga, keberadaan penambang rakyat yang melakukan aktivitas penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Timah, tidak bisa serta merta dipandang sebagai aktivitas ilegal yang merugikan negara,” anggap Eka.
Prinsip Saling Menguntungkan
Terlepas dari itu, Eka mengatakan kerja sama antara PT Timah dan pihak swasta tentu memiliki MoU (Memorandum of Understanding) yang didasarkan pada prinsip saling menguntungkan. Maka, saat ada pihak yang dirugikan, tentu kerja sama tersebut tidak bertahan lama.
Maka dari itu, Eka menduga masalah sebenarnya ada dalam tata kelola yang mungkin disebabkan persoalan-persoalan masa kini yang tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada individu atau pihak tertentu.
“Hal itu terbukti, dengan pernyataan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan perkara tersebut sejauh ini,” Eka menandasi.
Advertisement