Liputan6.com, Cilacap - Nama besar Imam al-Ghazali dalam dunia pemikiran Islam menempati posisi yang sangat penting. Dia adalah ulama yang berjuluk Hujjatul Islam atau sang pembela Islam.
Sepanjang hidupnya, Imam Ghazali banyak melontarkan argumentasi-argumentasi telak bagi golongan yang meragukan Islam.
Dalam literatur intelektual Islam, sosok al-Ghazali masyhur sebagai ahli filsafat dan logika sekaligus juga sebagai seorang sufi ahli tasawuf.
Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifa beliau berhasil meluluhlantakkan argumen-argumen para filosof yang menyimpang dari ajaran Islam.
Lama bergelut dengan dunia filsafat, akhirnya beliau memutuskan untuk menempuh jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Baca Juga
Advertisement
Salah satu karyanya dalam ilmu tasawuf yang sangat populer ialah Ihya Ulumuddin. Terdapat riwayat selain muatan isinya yang menakjubkan.
Kitab ini juga mengandung keramat atau karomah, di mana para penghinanya mengalami hal yang tragis.
Simak Video Pilihan Ini:
Nasib Tragis Penghina Kitab Ihya Ulumuddin
Menukil laman almunawwirkomplekq.com, Di antara karomah Imam Ghazali yang lain ialah ketika terdapat ulama yang bernama Abu Abdullah bin Zayd membaca kitab yang isinya mengkritisi dengan menyesat-nyesatkan Imam Ghazali.
Matanya tiba-tiba tidak bisa melihat. Sebelum akhirnya beliau bertaubat. Cerita ini diambil dari kitab Jami’ karomah al-Auliya’.
Selain itu, terdapat suatu ulama bernama Syaikhul Kabir Imam Ali bin Hamzah Al-Magribi, pembenci Imam Al Ghazali. Bahkan pernah mengumpulkan murid-muridnya untuk membakar kitab Ihya’ Ulumuddin.
Hingga suatu malam Imam Maghribi tersebut bermimpi bertemu Imam Ghazali dan diajak menemui Rasulullah yang kebetulan sedang bersama Abu Bakar dan Umar di suatu masjid.
Imam mengadukan perlakuan Syekh tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah menanggapi bahwa kitab tersebut bagus dan isi semuanya membawa kepada kebaikan dan kebenaran.
Setelah itu, Rasulullah memerintahkan Umar untuk mencambuk Syekh Maghribi tadi karena kebohongannya mengatakan kitab Ihya’ Ulumuddin tidak benar dan sebagainya.
Akhirnya setelah 50 kali cambukan, Abu Bakar membelanya dan mengatakan pada Rasulullah bahwa mungkin Syekh Maghribi ini salah paham menganggap kitab ini bertentangan dengan sunnah, ia hanya perlu belajar lagi. Akhirnya Rasulullah menyuruh menghentikan itu.
Keesokan paginya setelah bangun, Syekh Maghribi menemukan punggungnya dipenuhi bekas cambukan dan rasa sakitnya terasa hingga bertahun-tahun. Ia pun akhirnya bertaubat, bahkan menjadi orang yang banyak mengkaji pemikiran Imam Ghazali.
Advertisement
Jalan Hidup sebagai Sufi
Awalnya Imam Ghazali terkenal sebagai tokoh intelektual. Adapun yang membuat dirinya hingga menjadi sufi sekarang ini, ialah karena adiknya (Ahmad), yang merupakan tokoh sufi sejak awal. Suatu hari, ketika Imam Ghazali sedang ceramah, beliau diteriaki oleh adiknya dengan sebuah kalimat sindiran. “Wahai Batu Asah! Sampai kapan kau menajamkan sesuatu tapi kau sendiri tidak tajam?”.
Di lain waktu ketika sholat, Imam Ghazali menjadi Imam dan adiknya menjadi makmum. Namun, Syekh Ahmad, adik Imam Ghazali memilih mufaraqah (memisah diri dari imam). Setelah sholat kemudian Imam bertanya mengapa ia mufaraqah, padahal syarat maupun rukun dalam sholat tidak ada yang salah atau terlewati. Kemudian Syekh Ahmad menjawab.
“Saat aku sholat, aku melihat tubuhmu berlumuran darah. Karena darah itu, aku menganggapmu batal. Maka aku memisah diri darimu”
Seketika Imam Ghazali ingat, bahwa ketika shalat beliau memikirkan bab fiqh tentang haid. Kemudian Imam Ghazali yang penasaran bertanya pada adiknya, tentang kemampuannya dalam melihat seperti itu.
Akhirnya, setelah mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam beberapa waktu, Imam Ghazali memutuskan untuk melakukan uzlah, memisahkan diri dari khalayak ramai guna mencari ilmu yang hakiki. Beliau mengunjungi beberapa tempat: Makkah, Syam, dan Damaskus.
Dari uzlah terakhirnya dan yang terlama (Damaskus) inilah beliau menulis sebuah masterpiece, Ihya’ Ulumuddin. Di mana mahakarya tersebut memuat isi yang memadukan antara ilmu tasawuf dengan fiqih, karena saat itu selain cendekiawan, beliau telah menjadi sufi.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul