Liputan6.com, Jakarta Sudah selayaknya penggunaan kemasan pangan menjadi perhatian publik. Apalagi jika kemasan pangan digunakan pada botol, peralatan bayi, makanan kaleng, bahkan galon air minum yang tentunya harus bebas dari paparan senyawa kimia Bisfenol A (BPA).
Alasan mengapa harus bebas BPA tentunya agar tidak menghadirkan risiko kesehatan yang tak terbantahkan pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, semua pihak, terutama para pelaku usaha perlu mendukung pelaksanaan regulasi pelabelan BPA yang saat ini,khusus diberlakukan pada galon isi ulang berbahan plastik polikarbonat, jenis plastik keras pada umumnya galon air minum bermerek.
Advertisement
"Saya kira polemik seputar risiko BPA dan pelabelannya tak perlu lagi diteruskan. Hal itu karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terobosan berupa pencantuman label peringatan risiko BPA pada kemasan pangan," kata pendiri MedicarePro Asia, sebuah lembaga riset dan promosi kesehatan di Jakarta, dr. Dien Kurtanty, dalam seminar bertajuk BPA Free: Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sehat di Jakarta Selatan, Rabu (5/9).
Bahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 5 April 2024 mengesahkan peraturan yang mewajibkan produsen air minum yang menggunakan kemasan polikarbonat, jenis plastik keras dengan kode daur ulang "7", menerapkan label peringatan berbunyi: "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan".
Dia menjelaskan bahwa bahan baku produksi plastik polikarbonat dan zat kimia resin epoksi, BPA dapat berpindah (bermigrasi) dari kemasan ke produk pangan dan terkonsumsi oleh masyarakat. Tak hanya itu saja, menurut dr. Dien, poin penting dari pelabelan tersebut adalah pemerintah menaruh perhatian serius pada perlindungan konsumen.
"Uji toksikologi di berbagai negara menunjukkan BPA membawa risiko tersendiri terhadap perkembangan dan kesehatan tubuh, bisa memicu berbagai penyakit jika terpapar secara akumulatif selama bertahun-tahun sehingga para pelaku usaha, kalangan ahli dan peneliti diharapkan untuk memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada konsumen terkait risiko BPA," kata dr. Dien.
Dalam seminar yang sama, Ketua Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Bali, dr. Oka Negara, menilai regulasi BPOM tentang pelabelan BPA sebagai langkah terobosan dalam perlindungan kesehatan masyarakat.
"Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas atas produk yang dijual di pasaran, utamanya pada yang telah mengantongi izin edar BPOM. Dengan adanya pelabelan, konsumen bisa mengenal dan mewaspadai risiko paparan BPA pada kesehatan," ujar dr. Oka.
Paparan BPA, menurut dr. Oka, dapat memicu gangguan keseimbangan hormon dalam tubuh, terutama berkaitan dengan kesehatan reproduksi termasuk risiko pubertas dini dan gangguan menstruasi pada perempuan.
"BPA itu risikonya akumulatif, tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi jika terpapar/migrasi di tubuh secara terus menerus. Oleh karena itu, jika ingin menuju negara sehat, maka kemasan pangan yang bebas BPA (BPA Free) harus menjadi prioritas," kata dr. Oka.
Industri Wajib Taat!
Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Yeni Restiani, masih di acara yang sama juga menjelaskan bahwa kebijakan pelabelan BPA saat ini hanya khusus berlaku pada galon isi ulang bermerek yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.
"Sejak 5 April 2024, semua Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di Indonesia wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024," katanya merujuk pada regulasi Label Pangan Olahan.
Yeni juga menegaskan, agar pemerintah mendorong produsen air minum bermerek untuk ikut berkontribusi dalam mencerdaskan konsumen dengan penyedia informasi yang valid terkait risiko BPA.
(*)
Advertisement