Prabowo Diminta Jangan Banyak Janji soal Pertumbuhan Ekonomi, Kenapa?

Ekonom meminta Presiden terpilih Prabowo Subianto berhenti menebar janji terkait target angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selama masa pemerintahannya.

oleh Tira Santia diperbarui 10 Sep 2024, 14:00 WIB
Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka menyampaikan paparan Penguatan Anti Korupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (Paku Integritas) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/1/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, meminta agar Presiden terpilih Prabowo Subianto berhenti menebar janji terkait target angka pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selama masa pemerintahannya.

"Rencana angka 8 persen ini harus benar-benar didalami dan digodok secara serius oleh tim ekonomi Prabowo. Hentikan dulu janji-janji, dan paparkan rencana-rencananya agar publik bisa menilai dan memperdebatkannya," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (10/9/2024).

Menurutnya, jangan sampai demi mencapai angka 8 persen, Indonesia justru berubah menjadi negara otoriter dan bertangan besi. Jangan sampai, karena target tersebut, jejaring oligarki yang ada di kubu Prabowo-Gibran justru mengambil porsi terlalu besar, sementara rakyat hanya mendapat sisanya.

Ronny menilai, jika Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan yang signifikan, maka tren pertumbuhan di era Jokowi, yang terperangkap di kisaran 5 persen, kemungkinan besar akan berlanjut. Ia menekankan bahwa mencapai angka 8 persen bukanlah pekerjaan yang mudah.

Ronny juga menyoroti pernyataan tim ahli dari kubu Prabowo, seperti Dradjat Wibowo, yang membandingkan dengan era Orde Baru di mana pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 8 persen.

"Saya kira mereka harus belajar lebih banyak mengenai kondisi saat ini dan masa lalu. Booming minyak di era Soeharto sangat berpengaruh dalam pencapaian angka tersebut," ujarnya.

Ronny menjelaskan bahwa booming minyak dan lonjakan harga minyak dunia pada awal 1970-an, akibat perang Yom Kippur di Timur Tengah, membuat kantong Orde Baru mendadak membengkak. Hal ini memungkinkan intervensi pembangunan secara masif.

Sektor Manufaktur

Selain itu, sektor manufaktur, terutama tekstil, juga memberikan dorongan besar bagi ekonomi saat itu, dengan menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kala itu, tekstil Indonesia merajai Asia Tenggara dengan ekspor yang besar.

"Dua faktor tersebut tidak ada lagi hari ini. Booming minyak sempat digantikan oleh commodity boom di era SBY, dengan kontribusi besar dari CPO dan batubara," tambahnya.

Namun, menjelang akhir masa pemerintahan SBY, daya dorongnya melemah, terutama pasca krisis finansial 2008 di Amerika. Akibatnya, yang terjadi adalah semacam "secular stagnation," istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Hansen pada tahun 1938, karena saat itu Amerika dianggap kehilangan sumber-sumber pertumbuhan baru.

Analisis tersebut terbantahkan ketika Amerika menemukan sumber pertumbuhan baru, yaitu permintaan besar untuk Perang Dunia II.

Setelah perang, sumber pertumbuhan beralih ke konsumerisme, hingga terhenti lagi pada 1970-an akibat krisis minyak dunia dan inflasi besar-besaran.

Pasca krisis finansial 2008, Larry Summers menghidupkan kembali istilah "secular stagnation" karena Amerika kembali terjebak dalam pertumbuhan ekonomi rendah. Ekonom Amerika menyebut beberapa tahun pasca krisis 2008 sebagai "Great Recession."

 


Butuh Kebijakan Jelas

Ketua DPR RI Puan Maharani mengajak Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung berbincang dengan Presiden Terpilih sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Artinya, untuk menargetkan angka pertumbuhan 8 persen diperlukan rencana kebijakan yang jelas dan tidak bisa hanya bernostalgia bahwa Indonesia pernah mencapai angka tersebut.

Situasi saat ini sudah berbeda. Apalagi, Indonesia saat ini belum memiliki sumber pertumbuhan seperti di era Orde Baru yang dapat mendorong pertumbuhan hingga 8 persen.

Ronny menilai bahwa awalnya Jokowi berusaha menjadikan infrastruktur sebagai sumber pertumbuhan, tetapi berbagai kendala membuat dorongan belanja infrastruktur tidak mampu mendatangkan sumber pertumbuhan yang solid. Akibatnya, utang semakin menumpuk.

Jokowi juga berupaya mengintervensi komoditas nikel. Namun, hasilnya tidak berbeda. Justru China dan oligarki dalam negeri yang meraup keuntungan besar, sementara Indonesia hanya mendapatkan untung secukupnya karena kontribusinya terhadap pertumbuhan tidak signifikan.

"Jadi, tidak mudah untuk mencapai angka 8 persen jika situasinya tetap sama seperti era Jokowi. Arah kebijakan harus jelas, model intervensi harus terukur, dan tidak mengulang kesalahan masa lalu. Karena intervensi akan melahirkan pemenang dan yang kalah. Akan ada pihak yang mendapat proyek dan sokongan, baik fiskal maupun moneter dari pemerintah, dan ada yang tidak kebagian," pungkasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya