Kata PDIP Soal SK Kepengurusan DPP Digugat ke PTUN

Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Ha Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait pengesahan kepengurusan DPP PDIP periode 2019-2024 diperpanjang hingga 2025 digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan dilakukan oleh empat kader PDIP.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 10 Sep 2024, 13:49 WIB
Ketua DPP PDI Perjuangan Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus (tengah) saat menjawab pertanyaan dari sejumlah wartawan di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta. (Liputan6.com/M Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Ha Asasi Manusia (Kemenkumham) terkait pengesahan kepengurusan DPP PDIP periode 2019-2024 diperpanjang hingga 2025 digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan dilakukan oleh empat kader PDIP.

Para penggugat menyebut SK Kemenkumham melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Penggugat juga beranggapan perpanjangan masa bakti pengurus PDIP bertentangan dengan keputusan kongres.

Selain itu, penggugat menilai hak prerogatif Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak mencakup perubahan AD/ART partai tanpa melalui kongres.

Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menilai gugatan itu sebagai sebuah langkah politik keterlaluan dan bukan upaya hukum murni.

"Tidak ada kerugian apa pun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan inj lebih kelihatan sebagai upaya 'penyerangan' terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (10/9/2024).

Menurut Deddy, ada hal aneh dalam gugatan itu. Sebab beberapa pengacara penggugatnya berafiliasi dengan satu partai tertentu. "Jadi menurut saya, aroma politiknya sangat terasa," kata Deddy.

Deddy menyatakan proses perpanjangan kepengurusan DPP PDIP sudah dikaji dengan sangat mendalam terhadap aturan dan konstitusi partai. Perpanjangan kepengurusan juga sudah melalui proses pembahasan dan pengkajian hukum di Kemenkumham.

"Kalau logika mereka para penggugat ini diikuti, maka seluruh produk dan konsekuensi hukumnya sangat besar," kata Deddy.

Deddy kemudian menjelaskan, pada tahun 2019, PDIP mempercepat kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu.

"Jika memakai logika penggugat, maka SK DPP PDI Perjuangan yang dikeluarkan pasca percepatan kongres itu jadi tidak sah. Termasuk keputusan DPP PDI Perjuangan menyangkut pemilihan kepala daerah saat itu. Kalau begitu, akan terjadi krisis kenegaraan," kata Deddy.


Jika SK DPP PDIP Dianggap Cacat, Gibran Harus Dianulir sebagai Cawapres Terpilih

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberikan dua buku kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di sela-sela pemanggilannya di kantor DPP PDIP, Selasa (22/5/2023).

Dia mencontohkan, Gibran Rakabuming maju menjadi wali kota Solo dengan menggunakan SK DPP PDIP yang dipercepat kongresnya.

"Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran Rakabuming Raka adalah produk cacat hukum. Artinya, dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024. Karena untuk menjadi cawapres, dia harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Kalau keputusan PDIP pasca percepatan kongres tak sah, maka Gibran pun tak sah. Demikian pula seluruh produk hukum pilkada 2020 di seluruh Indonesia," jelas Deddy.

Oleh karena itu, Deddy menilai gugatan itu sesat logika dan harus dihentikan.

"Tidak boleh difasilitasi, apalagi kalau motivasinya adalah politik. Saya sarankan agar para otak kotor atau mastermind dan dalang dari upaya sabotase PDI Perjuangan ini, untuk berpikir panjang dan tidal usah cari masalah," tegasnya.

 

Infografis PDIP Sebut Jokowi dan Gibran Bukan Kader Lagi. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya