Liputan6.com, Jakarta - Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mendorong transisi energi dengan cara bertahap untuk memastikan keandalan energi hijau. Seiring hal itu, ia meminta pemerintah tak terburu-buru untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1, Jawa Barat.
"Pemerintah harus hati-hati, jangan terburu-buru untuk memensiunkan atau menyuntik mati PLTU Cirebon-1," kata dia dalam acara Media Briefing Pertamina di Gedung Sarinah, Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Advertisement
Komaidi menuturkan, sikap tergesa-gesa pemerintah untuk melakukan pensiun dini operasional PLTU Cirebon-1 berpotensi menimbulkan malapetaka bagi masyarakat kelas menengah bawah. Antara lain potensi krisis pasokan listrik yang mendorong kenaikan tarif listrik akibat tidak siapnya kapasitas energi hijau pengganti batu bara.
"Karena memang batu bara ini memiliki kapasitas operasional yang tinggi dibandingkan energi hijau seperti angin, matahari yang memiliki keterbatasan. Selain itu, mayoritas listrik di kita masih mengandalkan batu bara," kata dia.
Dia mencontohkan, krisis pasokan listrik yang memicu kenaikan tarif pernah dialami sejumlah negara maju di Eropa yang telah mapan menerapkan energi hijau. Masalah ini disebabkan oleh krisis energi terhentinya pasokan gas akibat perang Ukraina dan Rusia.
"Saat itu, masyarakat di Inggris, Jerman negara Eropa lainnya harus membayar tarif listrik yang tinggi akibat krisis energi karena terhentinya pasokan gas, sedangkan tidak ada pembangkit bersumber dari batu bara," kata dia.
Dia meminta pemerintah untuk menerapkan transisi energi secara bertahap dan memastikan keandalan energi hijau pengganti batu bara. Dengan ini, masyarakat dapat terhindar dari persoalan krisis energi akibat proses transisi yang terlalu cepat.
"Karena mau tidak mau kita masih bergantung pada baru bara, tapi kita juga perlu untuk mendorong transisi energi dengan cara bertahap untuk memastikan keandalan tadi energi bersihnya," ujar dia.
Tantangan Suntik Mati PLTU Cirebon-1
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait tantangan untuk melakukan pensiun dini operasional atau suntik mati PLTU Cirebon-1 di akhir tahun ini.
Dia menyebut, tantangan utama untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1 dari potensi pembengkakan biaya atas pemanfaatan energi hijau yang harus ditanggung PT PLN Persero hingga keuangan negara.
Bahkan, pelaku usaha juga ikut terdampak akibat dari kebijakan pensiun dini PLTU Cirebon-1. Menyusul, biaya pergeseran sumber energi dari fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan.
"Challengenya kita lihat dari biaya yang muncul akibat dari keputusan itu, konsekuensinya terhadap PLN, terhadap APBN dan private sector," ujar Sri Mulyani kepada awak media usai mengisi acara Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jumat, 6 September 2024.
Bendahara negara menambahkan keputusan untuk menyuntik mati PLTU Cirebon-1 juga harus dipastikan tidak melanggar peraturan yang berlaku. Kepastian hukum ini untuk mengantisipasi potensi kerugian negara akibat keputusan yang diambil pemerintah.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
PLTU Cirebon-1 Bakal Disuntik Mati Akhir Tahun Ini
Sebelumnya, Pemerintah memastikan bakal memulai proses pensiun dini atau suntik mati PLTU Cirebon-1 di akhir tahun ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menilai, PLTU tersebut jadi yang paling memungkinkan untuk dipensiunkan.
"PLTU Cirebon-1, karena yang paling memungkinkan," ujar Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Arifin menyebut, pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan memakai sokongan dana dari Asian Development Bank (ADB) melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM). Adapun pelaksanaannya masuk dalam comprehensive investment and policy plan (CIPP) dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
Namun, ia belum tahu berapa detil alokasinya. "Uangnya dari ADB JETP. (Berapa?) Ini kan baru udah principalnya, tapi udah ada kajiannya. Dananya kan saya belum inget," imbuhnya.
Arifin juga memastikan PLTU Cirebon-1 belum akan serta merta berhenti beroperasi pada akhir 2023. Namun lebih kepada penyetopan lebih cepat dari usia beroperasi seharusnya hingga 2045.
"Sekarang kan di JETP kan disetujui dulu CIPP-nya. Nanti kan baru dibahas dengan stakeholder, abis itu harus disetujui oleh sponsor. Dan diharapkan bulan ini bisa selesai," terang Menteri ESDM.
Ditemui pada kesempatan terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Maritim dan Investasi, Rachmat Kaimuddin pun membenarkan soal rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 tahun ini.
"PLTU Cirebon-1 itu hal yang kayaknya lagi dikerjain. Mudah-mudahan bisa di-announce," kata Rachmat.
99 PLTU Siap Ikut Perdagangan Perdana Bursa Karbon
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan kesiapannya untuk mulai mengawasi proses perdagangan karbon melalui bursa karbon. Dalam penyelenggaraan perdana, telah terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara yang akan ikut perdagangan karbon pada 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengatakan, penyelenggaraan perdana bursa karbon direncanakan mulai pada September 2023.
Sebagaimana diketahui, OJK telah menerbitkan POJK No.14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon sebagai aturan pendukung dalam penyelenggaraan perdagangan karbon melalui Bursa Karbon.
Dalam prosesnya, POJK tersebut telah mendapat persetujuan dalam rapat konsultasi bersama Komisi XI DPR RI beberapa waktu yang lalu.
“Perkembangan tersebut, tentunya meningkatkan optimisme kita untuk mencapai target penyelenggaraan perdana unit karbon di Bursa Karbon pada akhir September," kata Hasan dalam keterangan resminya, Senin (4/9/2023).
Dengan berlakunya POJK No. 14/D.04/2023 Perdagangan Karbon di Bursa Karbon, diharapkan dapat meminimalisir multitafsir atas ketentuan perundang-undangan dan kemungkinan pelanggaran atas ketentuan.
Advertisement
Tujuan Perdagangan Karbon
Hal ini sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan perdagangan karbon di Indonesia, yaitu memberikan nilai ekonomi atas unit karbon yang dihasilkan ataupun atas setiap upaya pengurangan emisi karbon.
Menurut ia, untuk mendorong suksesnya penyelenggaraan perdana unit karbon di Bursa Karbon, telah terdapat 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, yang berpotensi ikut perdagangan karbon tahun ini. Jumlah ini setara dengan 86 persen dari total PLTU Batu Bara yang beroperasi di Indonesia.
Selain dari subsektor pembangkit listrik, perdagangan karbon di Indonesia juga akan diramaikan oleh sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon seperti sektor Kehutanan, Perkebunan, Migas, Industri Umum, dan lain sebagainya.