Liputan6.com, Jakarta Desakan untuk menghentikan aturan kemasan polos rokok semakin kuat karena dianggap tidak efektif. Kementerian Kesehatan berencana mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) yang mengatur kemasan polos untuk semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik. Namun, pengaturan ini berisiko melanggar hak kekayaan intelektual (HAKI) dan berpotensi mempermudah pemalsuan produk.
Padahal jauh sebelum aturan ini menjadi polemik kembali, Indonesia bersama dengan negara lainnya pernah menggugat Australia pada kebijakan ini yang dinilai melemahkan daya saing produk rokok Indonesia di pasar Internasional. Seringkali terlupakan bahwa kemasan polos adalah pelanggaran HAKI. Merek adalah identitas perusahaan, dan banyak perusahaan, termasuk di industri tembakau, berinvestasi besar dalam riset dan pengembangan merek mereka.
Advertisement
Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita mengkritik kebijakan ini, mengingat Israel adalah satu-satunya negara yang menerapkan kemasan polos untuk rokok elektronik. Kemasan polos dapat memperburuk masalah rokok ilegal, membuka celah bagi produk ilegal yang lebih murah dan menarik.
“Artinya mereka meniru regulasi Israel untuk mematikan industri ini, kita harus waspada terhadap aturan yang dibuat tanpa dasar yang jelas,” ucap dia dikutip Selasa (10/9/2024).
Kebijakan serupa di negara lain seperti Australia, Britania Raya, dan Prancis justru meningkatkan peredaran rokok ilegal tanpa mengurangi konsumsi. Di Australia, peredaran rokok ilegal melonjak mendekati 30% pada 2023, sementara di Britania Raya, jumlah perokok naik dari 16,5% menjadi 17,1% setelah penerapan kemasan polos pada 2017. Perancis juga mengalami kegagalan serupa dalam menurunkan penjualan tembakau.
Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai urgensi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau, mengingat Peraturan Pemerintah 28/2024 sudah mengatur kemasan rokok dengan detail. Dalam RPermenkes yang sedang diperdebatkan, Pasal 4 ayat 2a, Pasal 5, hingga Pasal 7 mengatur secara rinci standar kemasan produk tembakau, termasuk desain, ukuran, dan warna, yang mengarah pada implementasi kemasan polos.
Semua Jenis Produk Tembakau,
Kebijakan ini mencakup semua jenis produk tembakau, rokok konvensional maupun rokok elektronik. Draft regulasi ini juga menjelaskan visual dari standar kemasan yang akan diimplementasikan pada berbagai jenis kemasan rokok konvensional dan elektronik, seperti kotak persegi panjang dan kemasan silinder.
Jika Kementerian Kesehatan memaksakan aturan kemasan polos ini diterapkan, sudah pasti Permenkes mencoba melampaui aturan yang sudah ditetapkan dalam PP 28/2024 yang sama sekali tidak mengatur kemasan seperti itu, melainkan lebih ke aturan peringatan kesehatan pada kemasan. Selain itu, perlu dipertanyakan apakah tembakau adalah satu-satunya produk yang berbahaya bagi kesehatan yang harus dikenakan aturan serupa.
“Kita bisa melihat bahwa Kemenkes secara membabi buta menekan industri, tanpa memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan, serta tanpa menghiraukan peraturan yang sudah ada di Kementrian yang lain,” Jelas Garindra
Kemasan polos berisiko memperburuk masalah rokok ilegal. Aturan ketat pada produk resmi bisa membuka celah bagi rokok ilegal yang lebih menarik dan murah. Akibatnya, konsumen mungkin beralih ke produk ilegal, justru bertentangan dengan upaya pemerintah menurunkan angka perokok.
Advertisement
Polemik Seputar Tembakau
Sebelumnya, Ketua Umum Kadin Jatim, Adik D. Putranto mengatakan, polemik seputar tembakau di negeri ini seakan tak berkesudahan. Usai pengesahan PP 28/2024 yang masih menggulirkan banyak pertanyaan dan keberatan, kini para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali ditekan dengan adanya peraturan-peraturan ekstrem melalui RPermenkes.
“Saat ini IHT memberi kontribusi terhadap 10 persen penerimaan negara, serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat. Namun, seperti diketahui, berbagai tekanan yang luar biasa, baik dari sisi kebijakan fiskal dan nonfiskal, telah berakibat tidak tercapainya target penerimaan cukai pada tahun 2023 lalu. Kini, ditambah lagi dengan peraturan yang lebih eksesif,” ucap Andik.
Sebagai aturan induk dari RPermenkes, KADIN juga menyoroti dan meminta Pemerintah untuk mengkaji kembali beberapa pasal terkait pengamanan zat adiktif yang diamanatkan dalam PP 28/2024, diantaranya pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional dan pasal 432 terkait larangan bahan tambahan.
Saat ini, lebih dari 95% pasar rokok di Indonesia adalah rokok kretek, produk khas dengan karakteristik unik. Oleh karena itu, peraturan mengenai tar, nikotin, dan bahan tambahan harus mempertimbangkan karakteristik ini agar tidak merusak warisan produk. Sebelum PP 28/2024, industri hasil tembakau (IHT) sudah menghadapi banyak regulasi, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengakomodasi isu ekonomi dan kesejahteraan.
Kini, dengan rencana kenaikan cukai dan pajak rokok tahun depan, ekosistem tembakau juga akan menghadapi ancaman serius, berpotensi berdampak negatif pada pengusaha, konsumen, pekerja, dan petani tembakau.