Liputan6.com, Jakarta Penolakan atas aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang produk tembakau dan rokok elektronik terus lantang disuarakan berbagai pihak. Terbaru, penolakan disampaikan atas aturan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging produk tembakau. Aturan ini menyeragamkan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik dan melarang pencantuman logo atau merek produk.
Advertisement
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menilai bahwa kebijakan ini memiliki potensi dampak signifikan yang perlu diperhatikan dengan serius. Henry mengungkapkan kekhawatirannya terkait penerapan kemasan polos rokok tanpa merek yang dinilai dapat mempengaruhi industri tembakau secara keseluruhan.
“Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry dikutip Rabu (11/9/2024).
Kemasan polos dirancang untuk menghilangkan elemen branding. Henry menjelaskan bahwa kemasan polos dapat memperburuk masalah rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam, ia menilai akan semakin sulit untuk membedakan produk legal dari ilegal.
“Sudah pasti kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri tembakau yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat,“ beber dia.
Sementara itu, dampak kemasan polos dan kebijakan pembatasan penjualan dipandang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok, namun ia berharap agar langkah-langkah tersebut mempertimbangkan dampak besar terhadap industri tembakau yang sah, dengan lebih dari 6 juta tenaga kerja dari petani hingga ritel, serta jutaan lainnya di industri pendukung seperti kreatif, periklanan, dan lainnya. Alih-alih, RPMK ini malah hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
“Kami berharap kebijakan ini tidak membuat industri kami menjadi korban dan menyebabkan industri tembakau yang legal terancam,” tegasnya.
Cari Solusi Seimbang
Sebagai langkah berikutnya, Henry mengimbau agar semua pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, dan asosiasi, dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang seimbang dan efektif. Sehingga, nantinya kebijakan yang hadir tidak hanya meminimalkan dampak negatif terhadap industri tetapi juga memastikan perlindungan terhadap konsumen dan masyarakat.
“Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, perdebatan tentang kemasan polos menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang hati-hati dan terinformasi dalam perumusan kebijakan tembakau di Indonesia,” papar dia.
Di samping itu, Henry juga menyoroti kebijakan pembatasan penjualan rokok di area tertentu seperti 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak. Menurutnya, kebijakan ini tidak akan efektif.
Pengusaha Rokok Ngeluh, Aturan Ini Berpotensi Matikan Industri Kretek
Sebelumnya, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal.
Selain itu, menurut Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan, ruang lingkup Pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429 – 463 dalam PP 28/2024 akan mengancam kedaulatan negara.
Henry mencontohkan Pasal 435 yang berbunyi “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan”.
Pihaknya mensinyalir Pasal 435 adalah titipan untuk menuju kemasan polos yang sudah lama jadi misi kelompok anti tembakau yang memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
"Perlu dicatat, negara yang mempunyai industri rokok yang besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing," katanya dikutip dari Antara, Jumat (30/8/2024).Merujuk kajian GAPPRI, proses penyusunan PP 28/2024 sejak awal sudah menuai polemik, karena tidak transparan dan tanpa partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan.
Menurut dia upaya pemerintah memperketat regulasi dengan memberlakukan PP 28/2024 khususnya Pasal 429 - 463 selain mematikan pabrik rokok kretek legal, dampak sosialnya juga bertambah.
Advertisement
Kehilangan Penerimaan Negara
Penyerapan tembakau dan cengkeh dalam negeri akan menurun tajam serta dampak negatif sangat besar bagi kesejahteraan petani tembakau, cengkeh, pekerja logistik, pedagang dalam negeri dan kehilangan nafkah di sepanjang mata rantai nilai industri kretek legal nasional.Dikatakannya, industri kretek legal nasional sudah dalam kondisi rentan yang terlihat dari turunnya jumlah pabrik dari 4.000 di 2007 menjadi 1.100 pabrik di 2022.
"Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar yang akan memberikan konsekuensi ekonomi maupun sosial," ujarnya.
Negara, tambahnya, juga akan kehilangan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) konvensional yang sangat besar, dan akan dibarengi dengan massifnya peredaran rokok ilegal.
GAPPRI juga mencatat, PP 28/2024 disinyalir melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) warga negara dengan masing-masing profesinya.
Selain itu, PP 28/2024 ruang lingkupnya lebih mewakili agenda FCTC daripada melindungi kemaslahatan asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau.