9,48 Juta Kelas Menengah Turun Kasta, Pemerintah Bisa Apa?

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadinya penurunan jumlah kelas menengah Indonesia pada periode 2019-2024 yang mencapai 9,48 juta orang.

oleh Tira Santia diperbarui 11 Sep 2024, 10:30 WIB
Aktivitas pekerja saat jam pulang kantor di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022). Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan bakal mendukung pemerintah pusat jika hendak mencabut satus pandemi Covid-19 menjadi endemi dan akan menyesuaikan program-program penunjang kebijakan tersebut. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadinya penurunan jumlah kelas menengah Indonesia pada periode 2019 – 2024 yang mencapai 9,48 juta orang. Penurunan ini dinilai disebabkan oleh berbagai faktor, seperti dampak Covid-19, pemutusan hubungan kerja, hingga kurangnya jumlah lapangan kerja.

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, mengingatkan agar Pemerintah memperkuat jaring pengaman sosial. Saat ini minimnya jaring pengaman sosial seperti masih banyak kelas menengah yang tidak memiliki jaminan sosial khususnya pekerja informal.

“Dukungan program jaminan sosial sangat dibutuhkan untuk melindungi kelas menengah dari masalah kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, hingga kematian,” kata Edy kepada Liputan6.com, Rabu (11/9/2024).

Menurut Edy, adanya laporan dari BPS ini harus segera direspon pemerintah. Jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan harus dipastikan berjalan.

Untuk program jaminan kesehatan nasional (JKN) per Agustus 2024 Pemerintah menganggarkan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 96,74 juta orang. Tentunya dengan penurunan kelas menengah tersebut seharusnya pemerintah menambah kuota peserta PBI. Mengacu pada Perpres no. 36 Tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial 2023 – 2024 Pemerintah sudah menargetkan peningkatan kuota peserta PBI JKN di 2024 menjadi 113 juta orang.

”Tentunya target kepesertaan PBI tersebut harus diimplementasikan agar kelas menengah yang turun tersebut dapat tetap mengakses Program JKN. Saya mendorong Pemerintah mengimplementasikan Perpres no. 36 tahun 2023 tersebut, dengan menaikan kuota PBI dari 96,8 juta menjadi 113 juta orang," ujarnya.

Selain itu, alokasi anggaran untuk PBI JKN selama ini sebesar Rp. 48,78 Triliun. Namun dalam realisasi nilainya di bawah alokasi anggaran tersebut. Dengan penurunan jumlah kelas menengah maka seharusnya pemerintah meningkatkan kuota PBI menjadi 113 juta, yang alokasi anggarannya menjadi Rp. 56,85 Triliun.

"Dengan penambahan alokasi menjadi Rp. 56,85 Triliun diharapkan perlindungan jamsos Kesehatan menjamin kelompok kelas menengah yang berkurang tersebut,” ujarnya.

 


Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Suasana saat jam pulang kerja di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (3/11/2021). Salah satu aturan kerja pada sektor non esensial diizinkan bekerja dari kantor atau 'work from office' (WFO) 75 persen dan sektor esensial 100 persen. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Untuk jaminan sosial ketenagakerjaan, tentunya kelas menengah yang turun ini pun membutuhkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan, khususnya program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dan Program Jaminan Hari Tua (JHT).

Hingga saat ini pemerintah pusat belum merealisasikan amanat Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN untuk pekerja miskin dan tidak mampu untuk mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan sebagai peserta PBI yang iurannya dibayarkan Pemerintah.

"Padahal di RPJMN 2020 – 2024 sudah dijanjikan PBI Jaminan sosial ketenagakerjaan, namun hingga saat ini APBN belum mengalokasikannya," ucapnya.

 


Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Edy juga menyarankan pemerintah untuk merevisi PP no. 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) agar pekerja yang ter-PHK mampu untuk mendapatkan bantuan uang tunai maksimal 6 bulan. Selain itu, dapat meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan serta manfaat informasi pasar kerja sehingga pekerja siap masuk kerja kembali di sektor formal.

“Adapun yang perlu direvisi adalah persyaratan menjadi peserta JKP yang eligible dipermudah sehingga seluruh pekerja bisa menjadi peserta JKP yang eligible. Lalu memberikan akses manfaat JKP kepada seluruh peserta JKP seperti pekerja kontrak yang jatuh tempo kontraknya mendapat manfaat JKP,” ujar Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III itu.

Edy juga meminta agar pemerintah  meningkatkan pembukaan lapangan pekerjaan formal. Harapannya tidak terjadi defisit angkatan kerja.

“Kelas menengah yang ter-PHK pun bisa memiliki kesempatan,” pungkasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya