Liputan6.com, Jakarta Berbagai pihak angkat bicara mengenai kebijakan kemasan polos rokok tanpa merek atau plain packaging produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Draft aturan tersebut dinilai bertujuan menyeragamkan kemasan produk tembakau dan rokok elektronik, serta melarang pencantuman logo ataupun merek produk.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengingatkan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam PP 28 dan RPMK dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor terkait, termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau.
Advertisement
"Industri saat ini sedang sangat prihatin. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait," kata Wakil Ketua Umum APINDO Franky Sibarani dikutip Rabu (11/9/2024).
Sementara itu, Ahli hukum dari Universitas Trisakti, Ali Rido, menyoroti terkait potensi pelanggaran konstitusi dan hak kekayaan intelektual (HAKI) yang mungkin timbul akibat kebijakan kemasan polos rokok.
Rido menerangkan, latar belakang lahirnya RPMK yang mengatur kemasan polos ini ialah Undang-Undang Kesehatan No. 17 tahun 2023. Padahal, PP 28/2024 yang turut mengatur produk tembakau dan rokok elektronik tidak memuat mandat aturan turunan untuk standardisasi kemasan seperti isi RPMK. Dalam pandangan Rido, ketentuan dalam PP dan RPMK tersebut tidak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
“PP 28/2024 secara tidak secara langsung melanggar HAKI, dan tampaknya tidak relevan jika ditinjau dari perspektif konstitusi,” ujar Rido dalam sebuah diskusi publik yang digelar baru-baru ini.
Rido juga menekankan bahwa kemasan polos dapat merugikan tidak hanya hak produsen tembakau namun juga hak konsumen. Sebab, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mewajibkan produsen untuk memberikan informasi yang jelas mengenai produk mereka.
“Kemasan polos yang seragam dapat mengaburkan informasi penting tentang produk, sehingga melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas,” katanya.
Industri Tembakau
Ia menambahkan bahwa pelaku industri tembakau, yang telah memenuhi kewajiban mereka, harus mendapatkan hak mereka sesuai dengan konstitusi. Selain itu, ia juga mengkritik kebijakan pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan. Ridho juga mencatat, aturan larangan zonasi penjualan maupun iklan produk tembakau dalam PP 28/2024 perlu diperjelas, mengingat definisi dan penerapannya yang masih kabur.
“Pelarangan ini tidak dapat diterapkan secara retroaktif ataupun berlaku surut terhadap penjual atau pedagang yang telah berdiri sebelum adanya institusi pendidikan atau tempat bermain anak. Ini dapat menyebabkan ketidakadilan,” tuturnya.
Ridho mengingatkan bahwa pembatasan hak hanya boleh dilakukan melalui Undang-Undang, bukan melalui peraturan setingkat PP atau peraturan menteri. Disahkannya pun harus dilakukan oleh DPR dan Presiden, bukan hanya melalui PP. Hal ini ia pandang penting agar pembatasan tersebut sesuai dengan mandat dari rakyat.
Advertisement
Judicial Review
Menanggapi potensi pelanggaran hukum yang mungkin timbul, Ridho menyarankan agar dilakukan judicial review untuk menilai kembali kebijakan ini. “Jika kebijakan ini dianggap melanggar hukum, langkah selanjutnya adalah judicial review. Jika jalur hukum tidak memberikan hasil, mungkin perlu dipertimbangkan alternatif lain,” tambah Ridho.
Lebih lanjut Ridho menegaskan, kebijakan kemasan polos tanpa merek dan pelarangan penjualan rokok memerlukan pendekatan yang hati-hati dan konsisten dengan ketentuan konstitusi dan hukum yang berlaku. Pemerintah diharapkan tidak gegabah dan tergesa-gesa.
Dengan adanya potensi pelanggaran hukum, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan tidak hanya efektif tetapi juga adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.