Bolehkah Muslimah Berobat kepada Dokter Laki-Laki, Bagaimana Hukumnya?

Allah SWT telah mengatur tentang aurat bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, dalam kondisi darurat seperti berobat, ada beberapa ketentuan yang perlu dipahami.

oleh Putry Damayanty diperbarui 12 Sep 2024, 22:30 WIB
Konsultasi kepada dokter sedini mungkin untuk dapat perawatan yang lebih baik. (Foto: Freepik/jcomp)

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Terlebih saat ditimpa musibah seperti sakit

Akan tetapi dalam praktiknya, pemeriksaan dan pengobatan saat sakit tidak selalu ditemukan tenaga medis sesama jenis. Faktanya di lapangan, tenaga medis seringkali berasal dari kaum laki-laki misalnya dokter obgyn. 

Hal ini akhirnya menjadi dilema antara menjaga aurat dan kebutuhan medis. Ketidaktahuan terkait hukum ini, tentunya akan membuat perempuan muslim khususnya merasa tidak nyaman dan cemas.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 30-31 telah menjelaskan tentang pentingnya menjaga pandangan dan kemaluannya pada yang bukan mahram. Tidak hanya itu, beberapa aturan lainnya pun mengikuti, seperti pada salah satu hadis yang menyatakan:

“Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrâni dalam al-Mujamul Kabîr no.486, 487 dan ar-Rûyânî dalam Musnadnya II/227. 

Lantas, bagaimana hukumnya jika seorang wanita muslimah berobat pada dokter atau tenaga medis laki-laki? Berikut penjelasannya merangkum dari laman NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Ketentuan Berobat pada Tenaga Medis Lawan Jenis

Ilustrasi dokter menulis resep | Via: istimewa

Adapun bagi orang yang sudah terlanjur sakit kemudian tidak menemukan dokter lain selain dokter lawan jenis, maka ada tuntunan syariat yang harus diupayakan untuk diikuti antara lain sebagai berikut:

1. Kondisi Terpaksa

Dalam kondisi terpaksa, pengobatan dan perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berbeda jenis kelamin, diperbolehkan. Dengan ketentuan bahwa pada saat itu tidak ada tenaga kesehatan seperti dokter yang berjenis kelamin sama dengan pasien di wilayah terdekat.

2. Tidak Berkhalwat

Pada saat pengobatan, pasien harus ditemani oleh seorang yang menjadi mahram atau sesama jenis dengannya. Dengan artian, dalam ruangan pemeriksaan, tidak diperbolehkan berduaan antara dokter dan pasien yang berbeda jenis. 

3. Pemeriksaan hanya di Area Tertentu

Untuk melindungi dari fitnah serta tetap menjalankan syariat agama, aurat yang diperbolehkan untuk dipegang hanya sekedar tempat-tempat yang diperlukan untuk dilakukan pemeriksaan. 

4. Berupaya Mencari Dokter Muslim

Apabila terpaksa harus ke dokter lawan jenis, maka harus diupayakan terlebih dahulu pada dokter seorang muslim. Dan bila tetap ia tidak menjumpai, maka boleh ke kafir dzimmy dengan syarat bisa dipercaya juga aman dari fitnah.

Ketentuan tersebut merujuk kepada keterangan dari Kitab Hasyiyah al-Bajury:

“Hukumnya boleh, seorang dokter melihat kepada pasien perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran mahram, suami, atau sayyid, dengan catatan jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya.” (Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99).


Ketentuan Lainnya

Sumber: Freepik

Adapun dalam ketentuan menyentuh, melakukan pemeriksaan serta memberikan obat, merujuk kepada kesepakatan ulama:

“Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwasannya boleh bagi dokter ketika adanya hajat yang mendesak untuk membuka aurat pasien baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berjenis kelamin sama dengannya atau berjenis kelamin berbeda. Para fuqaha’ selanjutnya berpendapat: .....boleh bagi seorang dokter muslim jika tidak ditemukan dokter perempuan untuk mengobati pasien wanita ajnabiyah yang muslim, serta melihatnya dan menyentuhnya sekedar hajat kebutuhan yang mendesak, dengan catatan jika tidak ditemukan adanya dokter perempuan. Dan dalam kondisi ketiadaan dokter muslim, boleh periksa ke dokter dzimmy.” (Wazâratu al-auqâf wa al-Syu-ûn al-Islamiyyah, al-Mausûatu al-Fiqhiyah, Kuwait, ‘Umûm-Ghīlah,  1994, Juz 31, halaman 56).

Dari penjelasan di atas, ketentuan tentang perempuan ataupun laki-laki ketika melihat aurat satu sama lain hukumnya adalah haram, maka melakukan pengobatan pada dokter yang berbeda jenis kelamin, dalam kaidah fiqh dijatuhi hukum tentang keadaan darurat yakni “darurat itu ditentukan menurut kadarnya.”

Dalam proses pengobatan, maka hukum yang berlaku adalah hukum darurat. Hukum darurat sama halnya ketika nanti seorang anak merawat orang tuanya yang telah lansia. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya