Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja menerbitkan Permen LHK No 10 Tahun 2024, soal perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Aturan baru itu sudah ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 30 Agustus 2024 silam, dan resmi diundangkan pada 4 September 2024 lalu.
Advertisement
Permen tersebut teridiri dari 7 bab, yang salah satu aturannya menyebut, pejuang lingkungan hidup tidak bisa dipidana.
Pasal 2:
"Orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Yang dimaksud sebagai 'pejuang lingkungan' tersebut antara lain terdiri atas individu, kelompok orang, organisasi lingkungan hidup, akademisi maupun ahli, masyarakat adat, dan badan usaha.
Meski begitu dalam Pasa 9 Ayat 1 Permen itu disebutkan, pejuang lingkungan harus mengajukan permohonan kepada Menteri LHK untuk bisa mendapat perlindungan hukum.
Permohonan perlindungan hukum itu dapat dilakukan secara tertulis oleh pemohon itu sendiri. Selain itu, permohonan perlindungan hukum bisa diwakili oleh keluarga inti, penasihat hukum, orang yang diberikan kuasa sebagai perwakilan, pimpinan badan usaha atau organisasi, dan akademisi ataupun ahli.
Sementara dalam Pasal 16, menteri dapat memberikan perlindungan hukum atas tindakan pembalasan, berupa somasi dan gugatan perdata. Meski begitu, Pasal 17 juga mengatur bahwa menteri dapat menolak permohonan perlindungan hukum pejuang lingkungan, dengan melampirkan pertimbangan penolakan.
Dalam poin pertimbangannya, KLHK menyebut, untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan diperlukan tata kelola pelaksanaan pelindungan hukum. Tata kelola itu dilakukan untuk meningkatkan partisipasi publik dan sinergitas antarlembaga dalam upaya pencegahan perusakan lingkungan hidup.
Terkait aturan baru KLHK tersebut, Public Engagement and Actions Manager program Greenpeace Khalisah Khalid saat dihubungi tim Regional Liputan6.com, Rabu (12/9/2024) mengatakan, idealnya Permen LHK ini dapat menjadi kebijakan proteksi terhadap pejuang lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Meskipun Permen ini terlambat hadir, mengingat organisasi lingkungan mengusulkan adanya turunan terhadap Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) ini sudah cukup lama, bahkan pada masa awal-awal pemerintahan Jokowi, sehingga mengakibatkan sudah banyak pejuang lingkungan yang dikriminalisasi.
"Tentu Greenpeace menyambut baik Permen LHK terkait Anti SLAPP (konsep yang menjamin perlindungan hukum masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat) ini," katanya.
Meski begitu, Khalisah mengkritisi Permen KLHK ini, antara lain pasal yang mengatur tentang Ketentuan Umum yang menyebutkan pada angka 1: "Orang yang memperjuangkan hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat dst.... sebagai korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum, dst."
Jika mengacu pada ketentuan tersebut, kata Khalisah, maka pejuang lingkungan hidup yang dilindungi hanyalah yang menempuh jalur hukum, sementara dalam kerja-kerja advokasi pembelaaan lingkungan hidup, jalur hukum hanya salah satu strategi.
"Dalam advokasi lingkungan hidup, dikenal strategi litigasi dan nonlitigasi. Lalu bagaimana perlindungan terhadap pejuang lingkungan hidup yang menempuh strategi nonlitigasi? Terlebih kita tahu, tidak mudah bagi warga negara untuk mendapatkan akses hukum yang adil, dan kita tahu fakta buramnya penegakan hukum di Indonesia. Belum lagi jika melihat kasus-kasus di lapangan, aparat penegak hukum justru menjadi tameng para pencemar, khususnya korporasi-korporasi skala besar," kata Khalisah.
Seharusnya upaya advokasi lingkungan yang menempuh jalur non litigasi, selama sesuai dengan konstitusi dan sejalan dengan koridor demokrasi, sudah seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama dari negara.
Jangan Tunggu Laporan
Dirinya juga mengkritisi bagian keempat tentang Tata Cara Penanganan. Pada poin 1 disebutkan, "Untuk memperoleh penanganan perlindungan hukum, orang yang memperjuangkan lingkungan hidup harus mengajukan permohonan perlindungan hukum."
"Dari redaksi dan pemilihan kata ini terlihat yang harus aktif adalah si pejuang lingkungan hidup, sementara dalam kasus-kasus lingkungan hidup yang sangat kompleks, seharusnya KLHK mengambil peran-peran yang aktif di sini, bukan hanya menunggu pelaporan," katanya.
Terlebih, kata Khalisah, secara waktu yang disebutkan paling lama penilaian susbtansi selama 60 hari. Belajar dari kasus-kasus lingkungan hidup yang diadukan/dilaporkan ke KLHK, banyak kasus pengaduan yang tidak difollowup secara serius, sehingga kasus-kasus tersebut semakin mengakumulasi konflik.
"Apalagi kasus-kasus lingkungan hiudp di pelosok-pelosok yang memiliki keterbatasan akses. Ini seharusnya juga menjadi pertimbangan bagi KLHK untuk lebih proaktif, baik dalam konteks pencegahan, maupun penanganan," katanya.
Greenpeace juga mengkritisi tidak adanya bagian yang mengatur siapa yang bertanggungjawab untuk menjalankan proses perlindungan hukum ini.
"Apakah KLHK akan membentuk tim khusus? Karena hanya disebutkan ada tim penilai permohonan," katanya.
Khalisah menyadari domain Permen Anti SLAPP ini memang pembungkaman pejuang lingkungan hidup dengan cara kriminalisasi, baik perdata maupun pidana, dan belum menjangkau pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup melalui berbagai tindak kekerasan yang dialami.
"Negara juga harus memikirkan bagaimana melindungi para pejuang lingkungan hidup dari ancaman kekerasan dari berbagai arah, yang bahkan berujung pada kematian," ungkap Khalisah.
Advertisement