Aturan Kemasan Rokok Polos Ancam Pedagang Kecil Gulung Tikar

Aprindo menolak rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, atau plain packaging produk tembakau.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 12 Sep 2024, 12:00 WIB
Pedagang memperlihatkan sejumlah rokok saat menggelar aksi damai Terimakasih tembakau di Jakarta, Selasa (31/50). Dalam aksi tersebut mereka melakukan penolakan terhadap hari tanpa tembakau sedunia yang jatuh pada tagl 31 mei. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menolak rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, atau plain packaging produk tembakau. Kebijakan tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey, juga mengkritik penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan, serta kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.

Menurut Roy, sosialisasi terkait regulasi ini kurang memadai dan pelaksanaannya sulit diimplementasikan. Ia juga menyoroti potensi munculnya praktik pungli di lapangan akibat aturan ini.

"Pasal karet dalam PP ini hanya akan memberatkan pelaku usaha dan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu," ungkap Roy dalam keterangan tertulis, Kamis (12/9/2024).

Pedagang Kecil Terdampak

Roy menekankan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak negatif bagi pedagang kecil dan pekerja. Menurutnya, peraturan yang hanya berfokus pada aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi dapat merugikan usaha kecil, dengan penurunan omzet yang signifikan.

"Kami mengharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini," harap Roy.

Ia juga mengkhawatirkan bahwa penurunan omzet pedagang kecil dan peritel bisa berdampak lebih luas pada perekonomian negara. Hal ini bisa menyebabkan tujuan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok menjadi tidak tepat sasaran, dan justru menekan para pedagang serta peritel yang telah mematuhi aturan.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh aspek, dari hulu ke hilir, termasuk potensi PHK dan meningkatnya kemiskinan yang sangat mengkhawatirkan. Kesehatan dan ekonomi seharusnya tidak saling bertentangan," tegasnya.

 


Rokok Ilegal Marak

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lebih lanjut, Roy menyebut kombinasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi penjualan produk tembakau berisiko meningkatkan konsumsi rokok ilegal.

Akses yang sulit bagi konsumen dewasa untuk membeli produk tembakau legal, serta minimnya informasi mengenai produk legal, dikhawatirkan akan mendorong peralihan ke rokok ilegal.

Aprindo telah menyampaikan kekhawatiran ini melalui surat resmi kepada kementerian terkait, mengusulkan agar regulasi ini dikaji ulang.

Namun, menurut Roy, banyak pasal dalam regulasi tersebut yang dinilai memiliki banyak celah dan pembahasannya tidak melibatkan asosiasi. Selain itu, beberapa kementerian yang mendukung regulasi tersebut dinilai tidak memiliki hubungan langsung dengan nasib pedagang ritel.

"Kami berharap pemerintah dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan, serta memastikan regulasi ini memiliki pelaksanaan teknis yang jelas. Penting sekali untuk meninjau pengawasan yang efektif dan mempertimbangkan dampak regulasi terhadap pedagang ritel yang selama ini telah taat pada aturan," tutup Roy.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya