Eksaminasi Putusan PTUN, Ikadin Selami Peran Kekuasaan Hakim

Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) melaksanakan Eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 584/G/2023/PTUN.JKT bertajuk 'Menutup Sebelah Mata Terhadap Kebenaran: Menyelam Lebih Dalam Terkait Peran Pengadilan'.

oleh Tim Regional diperbarui 12 Sep 2024, 10:58 WIB
Ikadin melaksanakan Eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) melaksanakan Eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 584/G/2023/PTUN.JKT bertajuk 'Menutup Sebelah Mata Terhadap Kebenaran: Menyelam Lebih Dalam Terkait Peran Pengadilan'.

Putusan yang dieksaminasi mengadili gugatan yang diajukan PT Keramika Indonesia Assosiasi (KIA) karena tagihan-tagihan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang diklaim Pemerintah.

Wakil Ketua Umum DPP Ikadin, Susilo Lestari, membuka kegiatan eksaminasi dengan menekankan pentingnya peran organisasi advokat dalam meningkatkan kemampuan anggotanya.

Dikatakannya, eksaminasi ini merupakan bagian dari kegiatan rutin Ikadin dengan tajuk Legal Update. Eksaminasi ini bukan bertujuan untuk mengerdilkan marwah pengadilan, tetapi menjadi sarana pengembangan kapasitas anggota Ikadin dan masyarakat luas.

"Putusan pengadilan ini dipilih karena kasusnya yang unik dan menggarisbawahi peran advokat sebagai officium nobile yang menegakkan keadilan," kata Susilo, dalam keterangan diperoleh, Rabu, 11 September 2024.

Materi yang didiskusikan dalam eksaminasi putusan ini adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 584/G/2023/PTUN.JKT antara KIA melawan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta dan Ketua Pelaksana Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

"Dua dari banyak isu yang menurut hemat saya cukup menarik dari putusan ini adalah soal finalitas keputusan tata usaha negara dan irisan antara peradilan tata usaha negara dan peradilan umum. Harapannya, agar isu-isu yang ada dalam putusan ini bisa diangkat dan didiskusikan," Susilo menerangkan.

 


Paparkan Pelbagai Anomali

Ilustrasi palu hakim pengadilan. (Sumber Pixabay)

LSM Law Firm sebagai kuasa hukum dari KIA dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 584/G/2023/PTUN.JKT turut diundang untuk memberikan latar belakang mengenai perkara.

Partner LSM Law Firm, Leonard Arpan, memaparkan pelbagai anomali yang ditemuinya dalam menangani perkara ini. Disebutkan, perkara ini bermula dari klaim pemerintah kepada KIA bahwa KIA masih memiliki utang kepada negara.

Namun, dokumen yang ada menunjukkan bahwa pemerintah sudah mengalihkan utang KIA kepada pihak ketiga di tahun 2003. Masalahnya kemudian, pemerintah berkeras bahwa utang ini masih ada.

"Kami berulang-kali meminta kepada majelis hakim untuk memanggil notaris selaku pihak yang memiliki dokumen transaksi secara lengkap. Sayangnya, majelis hakim menarik diri dari permintaan tersebut dengan dalih akan memperkeruh perkara," terangnya.

Indra Perwira, selaku salah satu eksaminator menerangkan, perkara ini menampilkan wujud tekanan dari Mahkamah Agung yang mengedepankan dukungan terhadap lembaga negara, Menurutnya, tidak mungkin Majelis Hakim dapat memutus secara adil apabila terdapat tekanan apalagi dari Mahkamah Agung.

"Seketika ada tekanan dari Mahkamah Agung, itu selesai karena menyangkut karir dan masa depan, sehingga mereka ikut tunduk arahan dari Mahkamah Agung," paparnya.

Menurut Indra, keberadaan dukungan ini merupakan suatu pelanggaran hukum. "Sebab, Mahkamah Agung tidak boleh memberikan dukungan ke program lembaga negara lain," ujarnya.

 


Pertimbangan Majelis Hakim

Ilustrasi vonis hakim (pexels)

Indra Perwira, yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini juga menjelaskan bahwa pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT terlalu terpaku pada pasal-pasal dan mengabaikan prinsip-prinsip yang berlaku.

"Majelis Hakim bisa mengesampingkan atau tidak menerapkan ketentuan apabila dirasa tidak sesuai dengan keadilan. Hakim itu the true lawgiver, hukum itu apa yang dinyatakan hakim dan bukan yang dinyatakan legislator," ucapnya.

Indra memberikan contoh bahwa untuk mewujudkan keadilan, hakim dilengkapi dengan alat-alat untuk menemukan kebenaran.

"Apabila Majelis Hakim dihadapkan pada dua bukti yang sama kuat yang membuktikan hal yang berbeda, maka ia harus mencari bukti ketiga untuk benar-benar mewujudkan keadilan," ujarnya.

Turut hadir berbagi pandangan mantan hakim, Maruarar Siahaan, yang melihat perlunya instrumen legal audit terhadap putusan-putusan pengadilan, termasuk Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT. Dikatakannya, putusan pengadilan harus akuntabel dengan mempertimbangkan alat bukti secara cermat.

"Sekarang, tidaklah mungkin pihak penggugat yang menghadirkan catatan-catatan yang disimpan sejak dimulainya BLBI apalagi adanya perintah pada zaman orde baru agar dokumen-dokumen itu dinyatakan rahasia," katanya.

Lebih lanjut, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia ini juga menjelaskan, dalam konteks peradilan tata usaha negara, beban pembuktian itu perlu digeser kepada pemerintah untuk memastikan putusan itu benar-benar bisa mewujudkan keadilan.

"Kita harus kembali pada irah-irah dalam putusan yang mengutamakan Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Pengadilan harus bisa memeriksa kebenaran utang apalagi sudah ada cessie," bebernya.


Diperkaya dengan Penelitian

Ilustrasi Vonis Majelis Hakim (Istimewa)

Eksaminasi Putusan ini juga diperkaya dengan peneliti yang berasal dari kalangan akademisi dan juga lembaga penelitian. Dewi Cahyandari, selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Berbagi hasil penelitiannya terhadap sikap pengadilan dalam Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT terhadap Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

"Seharusnya dengan adanya Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang memperluas ruang lingkup dari keputusan tata usaha negara, kesempatan bagi pencari keadilan dibuka menjadi sangat luas. Namun hal ini justru tidak diikuti secara konsisten oleh Majelis Hakim," ujarnya.

"Seharusnya Majelis Hakim memeriksa keputusan-keputusan yang jelas-jelas menimbulkan akibat hukum terlepas apakah keputusan tersebut masih memerlukan persetujuan atau pun tidak," sambung Dewi, seraya menyampaikan kritik terhadap Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT.

Alfeus Jebabun, sebagai peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan juga menemukan 2 pelanggaran hukum yang dilakukan majelis hakim.

"Pertama, Majelis Hakim menggunakan titik perhitungan tenggang waktu yang keliru. Kedua, Majelis Hakim tidak mengutamakan keadilan substantif dan malah mengedepankan keadilan formal," bebernya.

Eksaminasi putusan ini sekaligus membuka rangkaian kegiatan Ikadin Legal Update yang berfokus pada hukum penagihan piutang negara yang diselenggarakan pada 10, 11, 17, dan 18 September 2024 di Jakarta.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya