13 September 2007: PBB Adopsi Deklarasi Terkait Hak Masyarakat Adat

Empat negara yang menolak adopsi deklarasi tersebut kini telah berbalik posisi dan mendukung hak-hak masyarakat adat.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 13 Sep 2024, 06:00 WIB
Forum Musyawarah Masyarakat Adat Taman Nasional Kayan Mentarang. (dok. Istimewa)

Liputan6.com, New York City - Pada tanggal 13 September 2007, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Deklarasi tersebut, yang mendefinisikan hak-hak masyarakat adat atas cara hidup mereka masing-masing dan melarang diskriminasi terhadap mereka, merupakan momen penting bagi kelompok-kelompok yang sering berjuang untuk mendapatkan perwakilan di tingkat internasional.

Dilansir laman resmi PBB, Jumat (12/9/2024), adopsi dilakukan usai mendapat dukungan dari mayoritas 143 negara, 4 suara menentang (Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat) dan 11 abstain (Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Federasi Rusia, Samoa dan Ukraina).

Bertahun-tahun kemudian, keempat negara yang memberikan suara menentang telah mengubah posisi mereka dan kini mendukung Deklarasi PBB tersebut.

Saat ini, deklarasi tersebut merupakan instrumen internasional yang paling komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat.

Deklarasi ini menetapkan kerangka universal tentang standar minimum untuk kelangsungan hidup, martabat, dan kesejahteraan masyarakat adat di dunia, serta menguraikan standar hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang berlaku sebagaimana diterapkan pada situasi khusus masyarakat adat.

 


Upaya selama Beberapa Dekade

Masyarakat adat Suku Baduy melakukan Tarian Ngalage usai rangkaian tradisi adat Ngaseuk di kampung Karangkerit, desa Bojong Menteng, Banten, Senin (1/11/2021). Tradisi Ngaseuk merupakan musim tanam untuk suku Baduy yang nanti hasil panen untuk upeti pemerintah daerah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Upaya untuk menyusun instrumen khusus yang berkaitan dengan perlindungan masyarakat adat di seluruh dunia telah dimulai selama beberapa dekade.

Pada tahun 1982, Kelompok Kerja tentang Penduduk Asli didirikan dan merupakan salah satu dari enam kelompok kerja yang diawasi oleh Sub-Komisi tentang Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, badan pendukung utama Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (yang tidak berfungsi lagi pada tahun 2006).

Kelompok Kerja tersebut merupakan hasil dari sebuah studi oleh José R. Martinez Cobo tentang masalah diskriminasi yang dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh dunia. Studi tersebut menguraikan penindasan, marginalisasi, dan eksploitasi yang dialami oleh masyarakat adat.

Kelompok Kerja tersebut menyerahkan rancangan deklarasi pertama tentang hak-hak masyarakat adat kepada Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, yang kemudian disetujui pada tahun 1994. Rancangan tersebut dikirim untuk dipertimbangkan ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB saat itu untuk dibahas lebih lanjut dan jika dianggap tepat, untuk menyetujui usulan deklarasi tersebut sebelum diserahkan ke ECOSOC dan Majelis Umum PBB.


Kekhawatiran Negara Terkait

Para pengunjuk rasa berharap agar Mahkamah Agung segera merespon tuntutan mereka dan mengambil langkah tegas untuk melindungi hutan adat dari ancaman ekspansi kelapa sawit. (merdeka.com / Arie Basuki)

Proses tersebut berjalan sangat lambat karena adanya kekhawatiran yang diungkapkan oleh negara-negara terkait beberapa ketentuan inti dari rancangan deklarasi tersebut, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri masyarakat adat dan kendali atas sumber daya alam yang ada di tanah adat masyarakat adat.

Kebutuhan untuk mengakomodasi isu-isu ini menyebabkan dibentuknya, pada tahun 1995, kelompok kerja antar-sesi terbuka untuk mempertimbangkan dan menguraikan rancangan deklarasi tahun 1994.

Kelompok kerja terbuka tersebut berharap bahwa instrumen itu akan diadopsi oleh Majelis Umum dalam Dekade Internasional Masyarakat Adat Dunia (1995-2004). Karena hal ini tidak terjadi, mandat kelompok kerja tersebut diperpanjang oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB hingga Dekade Internasional Kedua Masyarakat Adat Dunia (2005-2015).

Pada tahun 2006, revisi terhadap mekanisme hak asasi manusia di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakibatkan penggantian Komisi Hak Asasi Manusia PBB dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Pada tanggal 29 Juni 2006, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

 


Proses Adopsi Deklarasi

Masyarakat adat Suku Minahasa turut hadir pada Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di kawasan Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat, Minggu, 23 Juni 2024. (Liputan6,com/Dikdik Ripaldi).  

Pada tanggal 28 Desember 2006, Komite Ketiga Majelis Umum (Sosial, Kemanusiaan, dan Budaya) mengadopsi rancangan resolusi untuk menunda pertimbangan dan tindakan terhadap Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat oleh Majelis Umum, dengan tujuan untuk menyelesaikan pertimbangan Deklarasi tersebut sebelum akhir sesi keenam puluh satu saat ini.

Berdasarkan rancangan resolusi yang direvisi, yang sponsor utamanya adalah Peru, dengan sejumlah negara Eropa dan Amerika Latin yang tercantum sebagai co-sponsor, teks lengkapnya akan diadopsi oleh Majelis dalam waktu yang relatif singkat.

Namun, sebuah inisiatif yang dipimpin oleh Namibia, yang disponsori bersama oleh sejumlah negara Afrika, mengakibatkan rancangan tersebut diamandemen. Dalam bentuk barunya, rancangan tersebut akan membuat Majelis memutuskan "untuk menunda pertimbangan dan tindakan atas Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat guna memberikan waktu untuk konsultasi lebih lanjut mengenai hal tersebut".

Lebih jauh, Majelis juga akan memutuskan "untuk mengakhiri pertimbangan Deklarasi tersebut sebelum akhir sesi keenam puluh satu".

Akhirnya, pada tanggal 13 September 2007, Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat diadopsi oleh mayoritas 143 negara yang mendukung, 4 suara menentang (Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat) dan 11 abstain (Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Burundi, Kolombia, Georgia, Kenya, Nigeria, Federasi Rusia, Samoa, dan Ukraina). Klik di sini untuk melihat catatan pemungutan suara.

Sejak diadopsinya deklarasi tersebut, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada telah membalikkan posisi mereka dan menyatakan dukungan terhadap Deklarasi tersebut. Kolombia dan Samoa juga telah mendukung deklarasi tersebut.

Infografis Macam-Macam Baju Adat di Indonesia (II) (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya