Nukila Evanty Hadiri Hari Budaya Rempang, Mengingatkan Pentingnya Pelestarian Tradisi

Nukila Evanty hadir untuk mendukung perayaan Hari Budaya Rempang yang diselenggarakan pada Sabtu, 7 September 2024.

oleh Aditia Saputra diperbarui 12 Sep 2024, 22:34 WIB
Nukila Evanty, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat dalam acara Hari Budaya Rempang, yang digelar pada Sabtu 7 September 2024.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), Nukila Evanty, yang dikenal karena kecintaannya pada sejarah, seni, dan budaya, kembali mengunjungi Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Kali ini, ia hadir untuk mendukung perayaan Hari Budaya Rempang yang diselenggarakan pada Sabtu, 7 September 2024. Keterlibatan Nukila dalam acara ini menunjukkan komitmennya dalam memperkuat dan melestarikan budaya lokal yang kaya akan sejarah.

IMA adalah lembaga yang berfokus pada pelestarian adat, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat adat di seluruh Indonesia. Nukila menjelaskan bahwa Pulau Rempang telah dihuni masyarakat sejak tahun 1834, pada masa Kesultanan Riau-Lingga. Fakta ini menunjukkan bahwa sejarah Rempang sudah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Pulau Rempang memiliki luas 16.583 hektar, dengan 16 kampung tua yang tersebar di wilayah Rempang dan Galang. Beberapa di antaranya adalah Tanjung Kertang, Rempang Cate, Pantai Melayu, Mongak, Pasir Panjang, dan Galang Baru. Potensi warisan budaya tak benda (WBTB) dan cagar budaya yang dimiliki Pulau Rempang hingga kini belum mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah maupun UNESCO.

Salah satu tradisi Melayu yang masih eksis di Rempang adalah Malam Tujuh Likur, yang dilakukan setiap bulan Ramadhan. Tradisi ini melibatkan pemasangan pelita atau penerangan tradisional di berbagai sudut jalan, halaman rumah, dan teras penduduk. Selain itu, masyarakat Rempang masih mempertahankan tradisi berbalas pantun yang biasanya disajikan dalam acara adat dan perkawinan.

Nukila menyoroti peran penting perempuan dalam melestarikan budaya dan bahasa daerah Rempang. 

"Perempuan di Rempang memiliki peran vital dalam mengajarkan budaya dan bahasa daerah kepada anak-anak," ujar Nukila Evanty dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini. 

 


Hampir Punah

Hari Budaya Rempang

Namun, Nukila juga mengkhawatirkan banyak budaya yang hampir punah, termasuk bahasa daerah, akibat kurangnya kesadaran dalam mengekspresikan dan melestarikan budaya secara berkelanjutan. 

Pemerintah Batam telah mengambil langkah untuk melindungi warisan budaya di Rempang. Salah satunya adalah Perkampungan Cate yang diakui sebagai perkampungan tua melalui Peraturan Daerah (Perda) Batam No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam. Selain itu, Surat Keputusan Walikota Batam No. KPTS 105/HK/III/2004 juga menetapkan wilayah perkampungan tua yang harus dilindungi. 

Berdasarkan aturan ini, jika pemerintah merencanakan proyek pembangunan, wilayah Rempang dan sekitarnya tidak boleh diganggu karena merupakan kawasan yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan agama yang penting.

 


Kesamaan Budaya

Masyarakat Melayu Rempang, sebagai penduduk asli, memiliki kesamaan budaya dengan masyarakat Melayu di Riau, Kepulauan Riau, dan Johor, Malaysia. Mereka terdiri dari kelompok Orang Darat, yaitu penduduk asli Pulau Rempang, Melayu Galang, dan Orang Laut yang hidup nomaden di pesisir laut. Sejak zaman Kesultanan Melayu Lingga, mereka telah hidup berdampingan dan mempertahankan tradisi leluhur. 

IMA bertujuan menjaga keberlanjutan budaya Melayu di Rempang, dengan mendahulukan kebutuhan dan keinginan masyarakat adat setempat. Salah satu tradisi yang dilestarikan adalah Gurindam Dua Belas yang dikarang oleh Raja Ali Haji dari Riau. Gurindam Dua Belas terdiri dari 12 bait yang berisi nilai-nilai kehidupan, kewajiban anak terhadap orang tua, budi pekerti, serta cara hidup bermasyarakat.

Selain Gurindam, tarian tradisional seperti Tari Persembahan dan Tari Zapin Penyengat juga merupakan bagian penting dari budaya Melayu di Kepulauan Riau. Nukila menjelaskan, "Tari Persembahan, atau yang dikenal juga sebagai Tari Makan Sirih, digunakan sebagai penghormatan untuk menyambut tamu kehormatan. Tarian ini biasanya dibawakan oleh lima hingga sembilan penari perempuan, dengan penari utama yang membawa tempat berisi sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau."

Tarian ini bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai filosofis seperti adab sopan santun dan rasa malu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Melayu. Tradisi lisan seperti gurindam, puisi, cerita rakyat, dan nyanyian juga masih dipertahankan sejak abad ke-19.

 


Dokumentasi

Nukila menekankan pentingnya pendokumentasian dan pementasan budaya Melayu agar generasi muda, terutama generasi Z, dapat memahami, menghargai, dan melanjutkan tradisi ini.  

“Saya berharap pemerintah juga menyadari bahwa di atas tanah dan laut Rempang terdapat budaya dan seni yang indah, yang menyatu dengan masyarakat asli yang telah menjaga warisan ini. Kita harus bangga dengan Masyarakat Rempang,” tegasnya.

Nukila mengingatkan bahwa pelestarian budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat adat, tetapi juga seluruh bangsa. “Kalau bukan kita yang menjaga budaya ini, siapa lagi?” ujarnya penuh semangat.

Hari Budaya Rempang menjadi momentum penting untuk kembali menegaskan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan budaya yang telah ada sejak berabad-abad lalu. Dengan dukungan dari lembaga seperti IMA dan individu seperti Nukila Evanty, tradisi dan budaya Melayu di Rempang dapat terus hidup dan menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya