Larangan Jual Rokok di Deket Sekolah Dinilai Tak Adil bagi Pedagang Kecil

Aturan mengenai jarak 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak ini tidak adil bagi pedagang kecil. Aturan ini bisa menutup banyak tempat usaha, terutama bagi pedagang kali lima dan UMKM.

oleh Septian Deny diperbarui 12 Sep 2024, 21:10 WIB
Pedagang memperlihatkan sejumlah rokok saat menggelar aksi damai Terimakasih tembakau di Jakarta, Selasa (31/50). Dalam aksi tersebut mereka melakukan penolakan terhadap hari tanpa tembakau sedunia yang jatuh pada tagl 31 mei. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Tokoh masyarakat yang juga mantan Bupati Tapanuli selama dua periode, Nikson Nababan, mendorong agar aturan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang menghambat pertumbuhan UMKM segera dicabut.

Seperti diketahui, beleid ini belakangan tengah mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama pedagang kecil dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Nikson mengusulkan agar PP ini dicabut untuk kemudian direvisi menyesuaikan masukan dari pihak terdampak seperti UMKM, demi mengatasi kekhawatiran terkait dampak diskriminatif terhadap pelaku usaha kecil.

Nikson menekankan revisi PP 28/2024 ini penting untuk diakukan untuk memastikan aturan tersebut tidak diskriminatif dan tetap melindungi semua pihak. Ia menjelaskan bahwa perlindungan terhadap dampak rokok memang harus menjadi prioritas, namun harus dilakukan dengan pendekatan yang tidak merugikan pelaku usaha yang telah lama beroperasi dan berkontribusi pada perekonomian lokal.

“PP ini harus dikaji ulang dan didesain kembali agar lebih efektif. Yang utama adalah memperketat aturan bagi penjualan rokok kepada anak-anak tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha pedagang kecil," tutur Nikson.

Lebih lanjut Nikson menyoroti mengenai zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

“Aturan mengenai jarak 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak ini tidak adil bagi pedagang kecil. Aturan ini bisa menutup banyak tempat usaha, terutama bagi pedagang kali lima dan UMKM yang bergantung pada penjualan rokok,” ujarnya.

 


Pendapatan Pedagang

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Lebih lanjut, Nikson mengkhawatirkan dampak atas peraturan ini yang akan dirasakan oleh pelaku ekonomi di daerah. Pendapatan pedagang otomatis terancam menurun akibat adanya ketentuan dalam PP tersebut. Hal ini pun dinilai akan berdampak bagi kemampuan pedagang untuk dapat mempertahankan usahanya.

Tidak hanya itu, situasi serba sulit ini pun berpotensi memperlebar celah bagi munculya rokok ilegal yang akan semakin merugikan pendapatan negara dari pajak dan cukai. Nikson berpendapat dengan pembatasan yang ada saat ini, kemungkinan besar rokok ilegal akan semakin marak.

Selain itu, Nikson juga mengkritik mengenai larangan iklan produk tembakau dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Melalui aturan ini, akan terjadi potensi penurunan pendapatan daerah dari pajak reklame hingga hilangnya lapangan pekerjaan di daerah. “Yang penting itu harusnya adalah bagaimana iklan (produk tembakau) harus sesuai dengan peraturan yang ada, tanpa mengandung unsur yang merugikan. Kalau dilarang seperti ini malah akan menurunkan pemasukan daerah,” tutupnya.


Khawatir Banyak Industri Rokok Gulung Tikar, Apindo Minta Ini ke Pemerintah

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menampung dan sekaligus menyampaikan keluhan dari 20 asosiasi lintas sektor terkait dampak signifikan regulasi Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Kesehatan, terhadap industri hasil tembakau (IHT) dan sektor-sektor terkait.

Apindo mengingatkan pemerintah, pasal-pasal yang bermasalah dalam PP 28/2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor terkait, termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem IHT.

Aturan yang menjadi sorotan di antaranya wacana standardisasi berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik yang tertuang dalam RPMK, serta ketentuan dalam PP meliputi zonasi larangan penjualan dan iklan hingga aturan batasan tar nikotin. Kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku usaha di berbagai sektor, karena telah menciptakan ketidakpastian berusaha.

"Kita sudah melakukan berbagai koordinasi dan kajian, di mana sebenarnya PP 28 ini cukup memberatkan bagi multi sektor, baik industri, pedagang, petani, dan sebetulnya juga konsumen. Dalam hal ini tentu kita diminta untuk secara aktif memberi masukan dalam konteks dikeluarkannya peraturan menteri turunannya," kata Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani saat konferensi pers di Kantor DPP Apindo, dikutip Kamis (12/9/2024).

Menurutnya, yang menjadi masalah besar dari PP No 28/2024 hingga menuai protes dari berbagai kalangan, karena dalam proses pembuatan sampai dengan isinya kurang tepat. Di mana dalam merumuskan PP 28/2024 ini pemerintah tidak melibatkan industri, baik pembina industri maupun pelaku industrinya itu sendiri. Padahal, di saat bersamaan industri saat ini sedang mengalami kondisi yang memprihatinkan.

"Kondisi industri saat ini dalam kondisi terkontraksi, akibat penurunan permintaan pasar baik global maupun lokal. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait. Jadi artinya, kalau peraturan (PP 28/2024) ini akan terus diterapkan, maka kontraksi itu akan berkepanjangan," ucapnya.

 


Keseimbangan

Ilustrasi Industri Rokok

Mewakili asosiasi-asosiasi sektor terkait, Franky menyampaikan, pihaknya menyoroti kebijakan yang diambil pemerintah ini tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan perekonomian nasional.

"Jadi keprihatinan inilah mengapa kita semua, baik petani, pedagang, maupun industri memberi warning kepada pengambil kebijakan (pemerintah), agar berhati-hati. Karena kalau tidak (hati-hati) maka kontraksi industri ini akan semakin besar," kata dia.

Apindo mendesak agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP No 28/2024 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, guna mewujudkan kebijakan yang berimbang dan berbasis pembuktian (evidence-based policy).

"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi ini harus disusun dan diterapkan secara adil dan berimbang, mengingat perkembangan perekonomian terkini serta kompleksitas posisi industri hasil tembakau dalam menopang ekonomi nasional. Kami juga mendukung komitmen pelaku usaha industri hasil tembakau untuk mencegah akses pembelian rokok oleh anak-anak, dan Apindo mengajak seluruh stakeholder untuk bisa bersama-sama meningkatkan edukasi dan literasi pencegahan merokok kepada kelompok usia di bawah 21 tahun," tegas Franky.

Ia menggarisbawahi pentingnya pemerintah melakukan pendalaman, bahwa kondisi sosio-ekonomi Indonesia sangat berbeda dengan industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja, jadi tidak bisa hanya berkaca ke negara-negara tertentu untuk begitu saja mencontoh kebijakannya tanpa pendalaman.

 

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya