Liputan6.com, Jakarta - Kesepakatan yang dikenal sebagai Kemitraan Transisi Energi bersih atau Just Energy Transition Partnership (JETP)(JETP) telah ditandatangi beberapa tahun lalu tepatnya pada 2022. Ini adalah perkanjian negara-negara maju yang akan mendanai negara berkembang seperti Indonesia dan Vietnam untuk mengurangi dan menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Pembangkit batu bara ini menurut negara maju sangat mencemari. Dana ini ini akan digunakan untuk mengembangkan pembangkit dari sumber energi bersih seperti tenaga surya atau geothermal.
Advertisement
Dikutip dari abcnews, Jumat (13/9/2024), hampir dua tahun kemudian, para kritikus mengatakan bahwa kemajuan dari kesepakatan ini minim.
Para pendukung berargumen bahwa penilaian tersebut tidak adil, dengan menyebut bahwa para pemangku kepentingan kini secara kolektif menyusun kebijakan untuk pertama kalinya, yang dapat menarik lebih banyak dana, dan bahwa proyek-proyek tersebut memerlukan waktu lebih banyak.
Kesepakatan Indonesia akan dikucurkan lebih dari USD 20 miliar pada fase awal pengurangan dan penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batubara serta pengembangan sumber energi bersih seperti tenaga surya atau geothermal.
Kesepakatan ini juga bertujuan untuk memperkuat rantai pasokan energi terbarukan negara tersebut dalam tiga hingga lima tahun ke depan.
Saat ini, hampir semua kebutuhan energi Indonesia dipenuhi oleh bahan bakar fosil, dengan 60% berasal dari batu bara yang sangat mencemari.
Badan Energi Internasional, emisi sektor energi Indonesia mencapai sekitar 600 juta ton karbon dioksida pada 2021, yang merupakan yang tertinggi kesembilan di dunia.
Pertumbuhan populasi dan ekonomi diperkirakan akan membuat konsumsi energi meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050.
Langkah Vietnam Menuju Energi Bersih
Vietnam menandatangani kesepakatan senilai USD 15,5 miliar pada Desember 2022, dengan tujuan mendapatkan hampir setengah dari pasokan listrik negara itu dari sumber energi bersih pada 2030.
Sebagian besar dana itu diperlukan Vietnam untuk mengembangkan infrastruktur energi untuk mengikuti produksi energi terbarukan yang berkembang pesat.
Vietnam menghasilkan lebih dari 10% dari listriknya dari tenaga surya pada paruh pertama 2022, lonjakan besar dari tidak ada pada 2018.
Paket finansial besar ini fokus pada transisi energi bersih, tetapi tidak ada pedoman untuk melaksanakan kesepakatan tersebut, kata Grant Hauber, penasihat di Institute for Energy Economics and Financial Analysis, sebuah organisasi nirlaba AS.
“Ternyata hal ini sangat sulit karena ada banyak elemen sosial, politik, dan ekonomi ... yang harus dipikirkan,” ujarnya.
Satu-satunya negara yang memiliki JETP sebelum Indonesia adalah Afrika Selatan, dan mereka juga mengalami masalah pembiayaan.
Advertisement
Pendanaan dan Risiko Utang
Pada November 2023, Indonesia dan Vietnam mencoba mengatasi masalah ini dengan menguraikan berapa banyak dana yang diperlukan dan proyek apa yang akan didanai.
Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif Indonesia dan Rencana Mobilisasi Sumber Daya Vietnam masing-masing mencantumkan 400 proyek potensial. Versi terbaru dari rencana Indonesia diharapkan akan diterbitkan tahun ini.
Vietnam telah memprioritaskan jaringan listrik dan fasilitas penyimpanan energi sementara membangun dasar untuk membangun tenaga angin lepas pantai.
Indonesia mengatakan memerlukan lebih dari USD 97 miliar dan Vietnam sekitar USD 134 miliar untuk mencapai target mereka pada 2030.
Sumber pendanaan juga menimbulkan kekhawatiran. Setidaknya 96% diharapkan akan diambil sebagai utang, dengan sisanya sebagai hibah, menurut ASEAN Centre for Energy
“Indonesia dan Vietnam menghadapi risiko serupa terkait kemampuan mereka untuk membayar hutang ini dan dampaknya terhadap rasio utang-terhadap-pendapatan dan kesehatan fiskal nasional mereka,” tulis para peneliti di ASEAN Climate Change and Energy Project.
Kesepakatan Energi Bersih Indonesia-Vietnam
Kesepakatan energi bersih antara Indonesia dan Vietnam dirancang untuk menarik investor di masa depan, namun Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform mencatat bahwa proyek membutuhkan waktu untuk menentukan jumlah dana dan cara terbaik untuk mendapatkannya.
Reformasi kebijakan Vietnam menghadapi tantangan dari birokrasi yang lambat dan ketegangan internal Partai Komunis yang bersikeras menjaga harga listrik tetap rendah meskipun ada kerugian. Namun, perubahan kebijakan terbaru, seperti penyelesaian jalur transmisi 500 kilometer dan undang-undang baru untuk tenaga surya atap, menunjukkan kemajuan.
Kesepakatan ini bisa menjadi model bagi negara lain, kata Sandeep Pai dari Swaniti Global. Namun, pembiayaan terbatas yang sebagian besar berupa pinjaman dapat menghalangi negara penghasil fosil lain untuk mengikuti jejak tersebut.
“Tanpa dana nyata dan keberhasilan yang terlihat, sulit bagi negara lain untuk ikut menandatangani,” tegasnya.
Advertisement