China Naikkan Batas Usia Pensiun per 1 Januari 2025

Usia pensiun di China saat ini termasuk yang terendah secara global.

oleh Tim Global diperbarui 14 Sep 2024, 11:11 WIB
Ilustrasi mata uang yuan. (Dok. Freepik)

Liputan6.com, Beijing - Badan legislatif tertinggi China telah menyetujui usulan untuk menaikkan usia pensiun negara tersebut. Demikian disampaikan kantor berita Xinhua pada Jumat (13/9/2024). Langkah itu mempercepat perombakan undang-undang yang telah berusia puluhan tahun untuk mengatasi tekanan ekonomi akibat menyusutnya angkatan kerja.

Reformasi merupakan hal yang mendesak karena angka harapan hidup di China telah meningkat menjadi 78 tahun pada 2021 dari sekitar 44 tahun pada 1960 dan diproyeksikan melebihi 80 tahun pada 2050. Pada saat yang sama, populasi pekerja yang diperlukan untuk mendukung lansia semakin menyusut. Demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Sabtu (14/9).

Usia pensiun bagi laki-laki akan dinaikkan menjadi 63 tahun dari 60 tahun, sedangkan bagi perempuan pekerja kerah putih akan dinaikkan menjadi 58 tahun dari 55 tahun. Bagi perempuan pekerja kerah biru akan disesuaikan menjadi 55 dari 50.

Perubahan ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Dengan membuat masyarakat bekerja lebih lama akan mengurangi tekanan pada anggaran pensiun karena banyak provinsi di China yang sudah terpuruk akibat defisit yang besar. Namun, menunda pembayaran pensiun dan mewajibkan pekerja lanjut usia untuk tetap bekerja lebih lama mungkin tidak bisa diterima oleh seluruh masyarakat.


Kata Ahli

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Setelah Xinhua melaporkan bahwa para anggota parlemen terkemuka China membahas topik tersebut pada 10 September, ratusan ribu orang menyatakan pendapat mereka melalui ke media sosial. Banyak di antara warganet China yanng menyatakan kekhawatiran akan semakin banyak pencari kerja yang mengejar terlalu sedikit lowongan pekerjaan.

Dengan menaikkan usia pensiun, pemerintah dapat meningkatkan tingkat partisipasi angkatan kerja, sehingga membantu mengurangi dampak buruk penuaan populasi, kata Xiujian Peng, peneliti senior di Pusat Studi Kebijakan di Universitas Victoria di Australia.

"Pemerintah harus mengambil tindakan. Jika populasi terus menurun, penyusutan angkatan kerja akan semakin cepat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi," tutur Xiujian.

Xing Zhaopeng, ahli strategi senior China di bank Australia, ANZ, mengatakan langkah ini kemungkinan besar tidak berdampak pada perekonomian jangka pendek.

"Dalam jangka panjang, hal ini akan membantu menghindari kekurangan tenaga kerja dini dan mempertahankan pertumbuhan produktivitas yang stabil," imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya