Liputan6.com, Jakarta - Seiring perubahan pajak pertambahan nilai (PPN) secara umum yang berlaku mulai 2025 menjadi 12 persen dari 11 persen, PPN dikenakan untuk kegiatan membangun rumah sendiri juga akan ikut berubah. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Berdasarkan pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada ayat 1 disebutkan tarif PPN sebesar 11 mulai berlaku pada 1 April 2022. Kemudian PPN secara umum berubah menjadi 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025, demikian dikutip Sabtu (14/9/2024).
Advertisement
Sejalan dengan ketentuan PPN itu, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri,kegiatan bangun rumah sendiri juga dikenakan PPN. Hal ini tertuang dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri, yang berbunyi:
(1)Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri.
(2)Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3)Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya sendiri digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
(4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa 1 (satu) atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/ atau baja;
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
(5) Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara:
a. sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu; atau
b. bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Perhitungan PPN Bangun Rumah Sendiri
Adapun PPN tersebut dihitung, dipungut dan disetor oleh orang pribadi dan badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu. Hal ini seperti tertuang dalam pasal 3 ayat (1), yang berbunyi:
(1)Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu.
(2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak
(3) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/ atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah.
Seiring saat tarif PPN secara umum menjadi 12 persen, pengenan pajak akan bertambah menjadi 2,4 persen pada 2025 dalam kegiatan membangun rumah sendiri.Dari sebelumnya tarif PPN saat ini 11 persen, tarif yang dikenakan berlaku 2,2 persen.
Advertisement
PPN Bakal Naik 12 %, Mimpi Buruk bagi Rakyat?
Sebelumnya, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan, kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025 akan mengakibatkan kontraksi terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami coba menghitung jika skenario kenaikan tarif itu PPN 12,5 persen, maka yang terjadi adalah ternyata kenaikan tarif ini membuat perekonomian terkontraksi," kata Esther Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9/2024).
Menurut Esther, kenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil, ekspor, dan impor, serta konsumsi masyarakat juga akan menurun.
"Artinya upah nominal itu juga akan turun, artinya income riil-nya juga turun, kemudian dari inflasi IHK juga akan terkontraksi menjadi minus, kemudian PDB juga atau pertumbuhan ekonomi juga akan turun, konsumsi masyarakat juga akan turun, ekspor dan impor pun juga akan turun," ujar dia.
Adapun berdasarkan perhitungan INDEF, jika skenario kenaikan tarif PPN sebesar 12,5 persen, upah nominal minus 5,86 persen, IHK minus 0,84 persen, pertumbuhan GDP minus 0,11 persen, konsumsi masyarakat anjlok 3,32 persen, ekspor akan minus 0,14 persen, dan impor juga diproyeksikan minus 7,02 persen.
"Nah, ini sekali lagi ini angka skenario jika tarif PPN itu dinaikkan menjadi 12,5 persen. Tetapi pada saat pemerintahan Presiden terpilih Prabowo nanti, Januari 2025 kan tarif PPN rencananya akan dinaikkan 12 persen, jadi kurang lebih ya angkanya akan sekitar ini ya," tutur dia.
Esther menegaskan kembali, jika skenario tarif PPN ini tetap dilaksanakan, pendapatan masyarakat itu akan menurun. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan melainkan juga masyarakat pedesaan.
"Sehingga ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat pedesaan. Nah ini sekali lagi ini hitungan indef 2021 jika skenario kenaikan tarif PPN itu menjadi 12,5 persen," pungkasnya.
Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12%: Kasihan Kelas Menengah
Sebelumnya, Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, dari sebelumnya 11 persen di 2024. Kenaikan tarif PPN ini mendapat protes dari para pengusaha pusat perbelanjaan.
Ketua Umum Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengeluarkan unek-uneknya terkait rencana pemerintah menaikkan tarif PPN 12 persen. Untuk diketahui, kenaikan tarif PPN ini sudah ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kemudian akan dijalankan oleh Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Budihardjo pun meminta pemerintah terpilih mendatang tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Hal ini karena akan sangat membebani pengusaha di tengah pelemahan daya beli masyarakat terutama kelas menengah.
"Hippindo akan terus bermitra dengan pemerintah jadi mitra yang aktif, menaikkan penjualan di dalam negeri, membantu menaikkan pajak dengan menaikkan omzet, omzetnya dinaikkan, bukan PPN-nya," ujar Budi dalam acara Indonesia Retail Summit di Swissotel Jakarta PIK Avenue, Rabu (28/8/2024)
Dia menjelaskan dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen dalam jangka menengah berpotensi untuk menurunkan daya beli masyarakat. Terutama untuk kelompok kelas menengah.
"Dampak nya sendiri memang tidak bersifat jangka pendek. Tapi dalam waktu jangka menengah itu ada pengaruh (kenaikan PPN 12 persen)," beber dia.
Advertisement
Kekhawatiran Pengusaha
Pihaknya khawatir dampak kenaikan PPN ini akan membatasi konsumsi masyarakat untuk berbelanja di sektor ritel. Menyusul, adanya potensi penurunan daya beli akibat kenaikan PPN.
Insentif
Untuk itu, dia meminta pemerintahan terpilih selanjutnya agar menunda kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jika terpaksa dinaikkan, dia berharap pemerintah memberikan insentif bagi kelas menengah.
"Kalau nggak bisa ditunda, tambahan 12 persen (PPN) itu bisa dikembalikan ke meningkatkan daya beli. Misalnya program kesehatan,atau program rakyat bawa untuk stimulus ekonomi dari uang tambahan itu," ungkap dia.
Di kesempatan yang sama, Menko Airlangga mengaku akan mempelajari usulan dari pelaku usaha tersebut. Namun, dia tidak bersedia menjawab apakah pemerintah akan menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun depan.
"Nanti kita pelajari," singkat dia.