Pemerintah Diminta Hati-Hati Susun Regulasi Industri Makanan dan Tembakau

Dari industri makanan dan minuman, aturan yang muncul justru memperlakukan gula dan susu formula secara tidak adil, bahkan seolah seperti barang haram yang tidak boleh diiklankan dan dipromosikan

oleh Septian Deny diperbarui 15 Sep 2024, 08:30 WIB
BPKN melakukan kunjungan 22 pasar tradisional dan ritel di Jabodetabek untuk langsung melakukan pengawasan serta penggunaan Qris dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memudahkan konsumen. (merdeka.com/imam buhori)

 

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang disusun dengan metode omnibus dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai banyak polemik. Dua produk regulasi yang mengatur berbagai aspek kesehatan dan non-kesehatan, termasuk pengaturan industri makanan, tembakau, dan alat kontrasepsi tersebut menuai kecaman dari berbagai sektor.

Protes yang dilayangkan banyak mencermati kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan-peraturan terkait kesehatan sehingga peraturan yang dihasilkan menekan berbagai sektor nonkesehatan yang turut terdampak.

Dari industri makanan dan minuman misalnya, protes keras dilayangkan karena aturan yang muncul justru memperlakukan gula dan susu formula secara tidak adil, bahkan seolah seperti barang haram yang tidak boleh diiklankan dan dipromosikan. Belum lagi, industri tembakau yang ditekan dengan aturan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek pada aturan turunan PP 28/2024 dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang direncanakan Kemenkes untuk segera disahkan, serta zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau pada PP tersebut.

Kedua contoh tersebut justru dapat merugikan masyarakat. Kebijakan tersebut akan menempatkan Ibu-ibu yang tidak dapat memproduksi ASI kebingungan produk substitusi apa yang baik untuk anaknya, di sisi lain, perokok akan sulit untuk mengurangi risiko kesehatannya karena seolah tidak memiliki pilihan lain yang lebih rendah risikonya selain rokok yang dikonsumsinya, padahal jelas dalam PP 28/2024 profil risiko harus diperhatikan.

Ahli Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Fitriani A. Sjarif menyoroti minimnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan yang menggunakan metode omnibus ini. Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan hukum yang sudah ada untuk menjamin partisipasi publik (meaningful participation) dalam penyusunan peraturan.

“Dalam proses penyusunan aturan, penting untuk memastikan bahwa masyarakat diberikan kesempatan untuk didengarkan dan memberikan masukannya. Penyusunan peraturan menggunakan metode omnibus menggabungkan banyak topik dalam satu peraturan dengan ribuan pasal. Proses pembahasan yang terburu-buru dan tidak transparan akan semakin menyulitkan pemangku kepentingan untuk terlibat, sehingga kualitas substansi peraturan yang dihasilkan kurang baik dan sulit diimplementasikan di lapangan,” tuturnya dikutip Minggu (15/9/2024).

 


Metode Omnibus

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Fitriani menambahkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan metode omnibus dalam penyusunan peraturan dan belajar dari pengalaman negara lain. Dengan begitu, harapannya dapat tercipta regulasi yang baik dan berimbang tanpa mendiskriminasi sejumlah pihak.

“Dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan dengan metode single subject rule, di mana satu peraturan akan fokus mengatur topik yang sama. Indonesia mulai menerapkan metode omnibus beberapa tahun terakhir, yang diawali dengan penyusunan UU Cipta Kerja. Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat yang lebih dulu menerapkan metode omnibus yang hanya membolehkan metode omnibus jika peraturan yang disusun memiliki tema yang sama, atau bisa dibilang omnibus law dengan pendekatan single subject rule,” papar dia.

Salah satu aturan terbaru yang tengah dirancang oleh Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek melalui RPMK. Draft kebijakan tersebut dinilai paling berpotensi mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau.

Kekhawatiran utamanya adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal. Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen untuk membedakan produk legal dan ilegal. Bahkan penerapan kemasan rokok polos tanpa merek juga bertentangan dengan regulasi seperti UU tentang Hak Cipta, Merek, maupun Perlindungan Konsumen.

Praktisi Kesehatan Publik sekaligus Pakar K3, dr. Felosofa Fitriya menyoroti peran penting edukasi dan sosialisasi dalam menekan prevalensi konsumsi rokok masyarakat. Ia berpandangan bahwa tidak seharusnya produk tembakau dan rokok elektronik dipasarkan dalam kemasan polos tanpa merek. Hal ini akan menimbulkan kebingungan pada konsumen untuk membedakan produk. Menurutnya, gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kedua jenis produk ini perlu dibedakan. Namun, kemasan polos tanpa merek seharusnya tidak diberlakukan pada produk tembakau maupun rokok elektronik, untuk tetap melindungi konsumen dan memastikan mereka dapat memilih sesuai profil risikonya.

“Sebaiknya kemasan ini dibedakan sesuai profil risikonya yang diharapkan perilaku perokok berubah ke yang rendah risiko. Kalau semua produk tembakau dan rokok elektronik kemasannya disamakan, bagaimana cara membedakannya? Karena jika dibedakan, ini akan meningkatkan kesadaran perokok untuk memilih produk,” beber dia.

 


Industri Hasil Tembakau

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Sementara itu, Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani melalui keterangan tertulis menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada sektor-sektor padat karya, khususnya pada industri manufaktur.

"Regulasi ini membebankan tanggung jawab penyakit tidak menular (PTM) sepenuhnya pada produsen pangan olahan dan industri hasil tembakau, padahal PTM disebabkan oleh banyak faktor lain, seperti gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, merokok, alkohol, paparan polutan, dan stres. Beban ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu atau dua sektor," jelas Shinta.

Shinta menegaskan bahwa kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan sektor-sektor penting. Ia menyoroti bahwa dalam konteks pangan olahan, produk ini hanya menyumbang sekitar 30% dari konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) di Indonesia, sementara 70% berasal dari pangan non-olahan.

"Pembatasan batas maksimal GGL pada produk pangan olahan perlu dikaji ulang efektivitasnya dalam mengatasi PTM karena tidak menyasar konsumsi GGL secara menyeluruh. Hal serupa berlaku untuk industri hasil tembakau. Regulasi yang terlalu ketat akan mendorong munculnya produk ilegal dan melemahkan industri formal," tambahnya.

Dalam hal industri hasil tembakau, Shinta juga menyampaikan bahwa kebijakan seperti kemasan polos dan pembatasan kadar tar serta nikotin tidak hanya menekan industri formal tetapi juga meningkatkan risiko peredaran produk ilegal.

"Kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Sementara itu, industri formal yang mematuhi regulasi justru terancam," tegasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya