Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim, sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Sejak 1981 hingga 2018, terjadi peningkatan suhu sebesar 0,03 derajat C per tahun. Disertai kenaikan permukaan air laut sebesar 0,8-1,2 cm per tahun. Catatan ini disinyalir hadi ancaman signifikan, mengingat 65 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir.
Advertisement
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hendra Gunawan mengatakan, data-data tersebut menegaskan perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan. Melainkan tantangan yang sudah terjadi dan akan terus memburuk tanpa langkah mitigasi yang tepat.
"Kalau kita lihat dari Global Climate Risk Index, ini indeks kerentanan suatu negara terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia menduduki peringkat ke-14. Jadi negara kita cukup rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memang sangat rentan terhadap risiko dan dampak perubahan iklim," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/9/2024).
Hendra juga mengungkit catatan World Energy Council, Indonesia memiliki lima variasi sumber energi. Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia harus seimbang dalam menjaga energy security, energy equity, dan keberlanjutan lingkungan.
"Saat ini, kita berada di peringkat 58 dari 126 negara. Ini menunjukkan bahwa kita masih berada di papan tengah, sehingga perlu ada upaya untuk memperbaiki posisi ini agar indeks kita semakin baik," lanjut Hendra.
Komitmen Indonesia
Indonesia sebagai bagian dari komunitas global telah berkomitmen pada berbagai upaya mitigasi perubahan iklim. Salah satunya melalui Paris Agreement dengan komitmen menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat C, dan diupayakan hingga kurang dari 1,5 derajat C.
"Selain meratifikasi Paris Agreement, Indonesia juga memiliki komitmen nasional seperti Enhanced NDC (E-NDC) dan target Net-Zero Emission (NZE)," imbuh Hendra.
Menurut dia, efisiensi energi juga merupakan langkah penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Langkah efisiensi energi yang dapat diambil termasuk manajemen energi, peningkatan efisiensi peralatan rumah tangga, penggunaan Penerangan Jalan Umum (PJU) hemat energi, serta adopsi kendaraan listrik.
"Kita punya amanah untuk menurunkan emisi pada 2030 sebesar 358 juta ton setara karbon. Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah efisiensi energi dengan target 37 persen. Jadi, jangan lupakan pentingnya efisiensi energi," pungkas Hendra.
Advertisement
Sri Mulyani: Perubahan Iklim Bisa Bikin PDB Suatu Negara Turun hingga 10%
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak perubahan iklim bisa menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) 10 persen pada 2025.
"Sebuah studi menunjukkan bahwa skenario terburuk, perubahan iklim bisa mengakibatkan penurunan PDB hingga 10 persen pada tahun 2025. Ini cukup besar, 10 persen dari PDB," kata Sri Mulyani dalam Sesi Tematik Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Dia menilai, dengan kehilangan 10 persen dari PDB, konsekuensi terhadap perekonomian sangat besar, utamanya dalam memerangi kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan akan semakin sulit pada masa mendatang.
"Jadi, menghilangkan atau mengurangi PDB 10 persen tentu konsekuensinya sangat besar, tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi terutama dalam upaya kita memerangi kemiskinan dan juga penciptaan lapangan kerja, terutama bagi generasi muda," ujarnya.
Selain itu, suhu global yang terus meningkat juga mendorong frekuensi bencana alam semakin besar, dan dapat merusak infrastruktur yang telah dibangun sehingga menjadi sia-sia.
"Keparahan bencana alam, yang jika kita tidak benar-benar berhati-hati. Indonesia, membangun banyak infrastruktur yang dapat dengan mudah hancur atau rusak oleh perubahan iklim. Jadi, itu bisa menjadi upaya yang sangat sia-sia dan menghabiskan banyak uang," jelas Sri Mulyani.
Disamping itu, dampak ekonomi dari perubahan iklim tentu juga dapat memicu ketidakstabilan sosial-politik, di mana biasanya orang miskin atau yang paling miskin akan menjadi pihak yang paling menanggung akibatnya, dan itu dapat menciptakan kesenjangan sosial dan juga dapat menciptakan lebih banyak ketegangan politik. "Jadi, kita memahami bahwa perubahan iklim perlu ditangani," pungkasnya.
Butuh Kolaborasi dan Investasi Negara Maju
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin, membuka hari kedua gelaran Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC), Jumat (6/9/2024).
Rachmat menyampaikan, sebagaimana pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masalah perubahan iklim dapat diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif antara negara maju dan berkembang. Disisi lain, juga tidak mengesampingkan kemanusiaan dalam menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.
"Kita bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, banyak hal yang bisa dilakukan. Kita harus meyakinkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri egosentris," kata Rachmat.
Dia menuturkan, tanpa kolaborasi, investasi, riset, dan teknologi, serta pembiayaan maka permasalahan perubahan iklim tidak bisa diselesaikan begitu saja.
"Tanpa pembiayaan dan laninnya maka permasalahan perubahan iklim tidak bisa diselesaikan," ujarnya.
Lebih lanjut, kata Rachmat, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan untuk melakukan kolaborasi maka penting untuk memahami antar sesama negara, bagik negara maju dan berkembang guna menyelesaikan permasalahan perubahan iklim.
"Kemarin kita sudah melakukan dialog plenary session yang membahas mengenai transisi energi, Solusi penyimpanan energi, dan membahas mengenai bagaimana mencapai net zero emisi, serta solusi untuk polusi," ujarnya.
Adapun gelaran ISF 2024 akan ditutup dengan event summary dan rekap seluruh agenda oleh Deputi Rachmat dan Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta W. Kamdani.
Selain itu, Menko Luhut juga akan memberikan closing statement yang menjadi tanda resmi selesainya seluruh rangkaian pertemuan ISF 2024.
Advertisement