Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total kredit atau pembiayaan berkelanjutan terus menunjukkan kenaikan selama kurun waktu lima tahun. Dengan kenaikan ini memperlihatkan bahwa industri keuangan ikut berperan aktif mewujudkan Net Zero Emission.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, pada 2019 pembiayaan berkelanjutan mencapai Rp 927 triliun, kemudian 2020 naik menjadi Rp 1.181 triliun.
Advertisement
Selanjutnya, 2021 mencapai Rp 1.409 triliun, dan pada tahun 2022 sebesar Rp 1.571 triliun, Pada tahun 2023 kembali meningkat mencapai Rp 1.959 triliun.
"Hal ini dipengaruhi oleh dorongan baik dari regulator maupun stakeholders, sehingga perbankan semakin menganggap aspek pembiayaan berkelanjutan ini sangat penting," kata Dian, di Jakarta, Senin (16/9/2024).
Dian menjelaskan, realisasi penyaluran di atas mengacu pada kategori berkelanjutan sebagaimana POJK 51/2017 dan POJK 60/2017 yang direvisi pada POJK 18/2023 terkait pendefinisian Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).
Sebagai acuan kategori keberlanjutan yang lebih spesifik, saat ini OJK telah menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) dimana telah terdapat pendefinisian dan kategorisasi pembiayaan keberlanjutan.
"Dengan demikian, bank dapat mengacu kategori berkelanjutan pada masing-masing sektor dan sub sektor berdasarkan ketentuan dan panduan tersebut," ujarnya.
Adapun tantangan utama yang dihadapi dalam pembiayaan berkelanjutan adalah sinergi dan sinkronisasi kebijakan, dukungan dari sektor riil dan penerapan di level UMKM, serta peningkatan kapasitas SDM di Bank untuk memahami, menilai dan mempersiapkan aksi mitigasi dan adaptasi dalam transisi menuju peningkatan kontribusi pada sektor ekonomi yang keberlanjutan.
Maka OJK juga akan terus melakukan update kebijakan guna mendukung pencapaian Net Zero Emissions (NZE) dan berupaya untuk mendorong perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit pada segmen hijau dan keberlanjutan dengan mengikuti standar internasional dan tuntutan stakeholder.
"Diskusi dan sinergi dukungan kebijakan bersama kementerian terkait juga terus dilaksanakan, karena membutuhkan kolaborasi berbagai pihak untuk mempersiapkan kerangka perekonomian yang berkelanjutan secara berkesinambungan untuk mencapai target nasional net zero emission di 2060 atau lebih cepat," pungkasnya.
Menuju Net Zero Emisi Karbon, Perbankan Punya Peran Besar Lewat Pembiayaan Berkelanjutan
Sebelumnya, pembiayaan berkelanjutan merupakan paradigma keuangan yang telah menjadi sorotan utama dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia. Tak hanya aspek finansial, tetapi juga mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang berdampak luas.
Di Indonesia, pembiayaan berkelanjutan memiliki peran penting dalam memenuhi tantangan dan peluang yang dihadapi. Pembiayaan berkelanjutan atau sustainable finance merupakan pendekatan keuangan yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy, Andhyta Firselly Utami mengatakan bahwa aspek sosial dan lingkungan memiliki peran penting ketika membuat keputusan keuangan.
"Pembiayaan berkelanjutan itu tentang memahami bahwa ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan," kata Andhyta, dikutip Rabu (8/11/2023).
Indonesia sedang mengikuti komitmen global transii nir-emisi atau transmisi menuju nol karbon, dengan mengurangi emisi karbon hingga mencapai net zero emisi karbon di tahun 2050. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berusaha untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan, dan jika ada emisi yang tersisa, akan dikompensasi melalui upaya seperti penanaman hutan atau teknologi karbon negatif.
Advertisement
Peran Perbankan dalam Pembiayaan Berkelanjutan
Perbankan memiliki peran yang sentral. Andhyta mengatakan, perbankan tidak hanya sebagai penyedia dana, tetap juga sebaga agen perubahan dalam mendorong praktik bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Perbankan memiliki peran dalam mndukung proyek-proyek yang berfokus pada energi terbarukan, efisiensi energi, dan tata kelola perusahaan yang baik," kata Andhyta.
Peran perbankan dalam pembiayaan berkelanjutan menciptakan perubahan positif yang bersifat menyeluruh dalam ekonomi.
Di Indonesia saat ini, beberapa bank telah mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan, termasuk penerbitan green bonds untuk mendukung proyek-proyek berkelanjutan. Namun, terdapat tantangan dalam mengintegrasikan pembiayaan berkelanjutan dalam skala yang lebih besar.
"Salah satu tantangan utamanya adalah perluasan paktik keuangan berkelanjutan di luar proyek-proyek besar dan berdampak langsung, seperti energi terbarukan," ungkap Andhyta. Ia menambahkan, meningkatkan inklusi keuangan berkelanjutan merupakan salah satu tantangan yang masih dihadapi, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Kepedulian Perubahan Iklim
Hadirnya inisiatif keuangan berkelanjutan dan transisi nir-emisi pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan iklim. Dalam laporan World Bank "Turn Down the Heat: Confronting the New Climate Normal", mengatakan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan suhu rata-rata global dan berdampak pada pola cuaca yang ekstrem, kenaikan tingkat laut, serta berbagai dampak lainnya.
"Pemahaman perubahan iklim dalam pembiayaan berkelanjutan mendorong terciptanya urgensi ketika berinvestasi dengan proyek-proyek yang dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan mempersiapkan Indonesia untuk menghadapi tantangan masa depan terkait perubaan iklim," jelas Andhyta.
Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi penting untuk mencapai tujuan pembiayaan berkelanjutan dan transisi nir-emisi dengan tanggung jawab masing-masing.
Andhyta menyoroti pentingnya kolaborasi, "Pembiayaan berkelanjutan membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau perusahaan, tetapi juga tanggung jawab bersama,"
Advertisement
Pendanaan Menjadi Tantangan
Biaya yang diperlukan untuk melakukan proses transisi sangat besar, selama ini masih dianggap terpisah atau eksternalitas dari proses produksi dan konsumsi.
Andhyta menyampaikan, sebagai contoh di negara berkembang Asia, ADB memperkiakan investasi tahunan sebesar USD 1,7 triliun untuk infrastruktur transmisi tersebut hingg tahun 2030. Pengeluaran tersebut harus dibiayai sedemikian rupa sehingga pendanaan dari hal lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tidak akan teralihkan.
Indonesia punya potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam pembiayaan berkelanjutan di Asia Tenggara.
"Pembiayaan berklanjutan adalah tentang memberdayakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka," tambah Andhyta.
Dengan komitmen terhadap transisi nir-emisi, Indonesia bisa menjadi contoh positif dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.