Liputan6.com, Jakarta - Kita mungkin pernah dihadapkan pada kondisi dimana kesabaran diuji. Bisa jadi karena suatu musibah atau saat berada di situasi yang benar-benar sulit dan mengecewakan.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُون
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwasanya mereka akan dibiarkan begitu saja setelah mengucapkan ‘Kami beriman’ sementara mereka tidak akan mendapatkan cobaan dan ujian” (QS. Al-‘Ankabut: 2)
Barangkali ada yang dapat menahan dirinya dan bersikap tenang atas semua kesulitan yang ia hadapi. Namun, ada juga yang akhirnya menyerah, terbawa emosi hingga menyalahkan keadaan.
Baca Juga
Advertisement
Bahkan sering kali kita mendengar bahwa "sabar ada batasnya". Lantas, apakah pernyataan tersebut benar atau hanya sebatas ucapan belaka?
Untuk mengetahui jawabannya, mari simak penjelasan di bawah ini sebagaimana dirangkum dari laman cahayaislam.id.
Saksikan Video Pilihan ini:
Apakah Sabar Ada Batasnya?
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menjadikan sabar sebagai penolong:
وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ
Artinya: “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu.”
Dalam urusan apa saja, Allah menyuruh kita untuk minta tolong kepada-Nya melalui sabar dan shalat. Kalau memang sabar itu ada batasnya, tentunya Allah tidak akan menjadikan sabar sebagai penolong.
Semakin tinggi ketakwaaan seseorang, semakin besar kesabarannya. Jika ada seseorang yang merasa habis kesabarannya, artinya ia belum bisa memaksimalkan kesabarannya. Buktinya, banyak orang yang mendapat ujian jauh lebih berat dari kita namun tetap bisa sabar.
Advertisement
Macam-macam Hukum Sabar
Imam Al-Ghazali melalui kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan beberapa macam hukum sabar. Pasalnya, tidak semua bentuk kesabaran adalah baik. Oleh karena itu, kita harus bisa menempatkan kesabaran pada tempatnya.
Pertama adalah sabar yang wajib, yaitu sabar menahan dari berbuat maksiat. Tidak bisa ditawar lagi, sabar dalam hal ini hukumnya wajib bagi setiap orang.
Selain itu, ada juga sabar sunnah, yaitu sabar atau menahan diri dari perkara-perkara yang makruh. Begitu juga sebaliknya, menahan diri dari melakukan perkara-perkara sunnah adalah jenis sabar makruh.
Terakhir, ada sabar yang hukumnya haram, yaitu menahan diri dari apa saja yang bisa membahayakan. Misalnya, ketika melihat orang lain menyakiti istri kita, tapi kita malah menahan diri dari melindungi istri. Maka, inilah sabar yang hukumnya haram.
Jadi, sabar tidak ada batasnya tapi ada tempatnya. Dalam menghadapi ujian, kita harus terus bersabar karena kesabaran tidak akan ada habisnya. Namun, saat orang lain terkena musibah, kita harus langsung menolongnya.
3 Tingkatan Sabar
Dalam kitab As-Shabru wa Tsawab ‘Alaihi halaman 30, terdapat sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah pernah menjelaskan bahwa sabar memiliki 3 tingkatan.
Pertama, sabar menghadapi musibah di mana Allah akan mengangkat 300 derajat orang yang sabar melalui ujian berupa musibah.
Kedua, sabar menjalani ketaatan di mana Allah akan mengangkatnya 600 derajat. Ketiga, sabar dari berbuat maksiat di mana Allah akan mengangkat derajatnya hingga 900 derajat. Sabar yang ketiga inilah sabar yang paling tinggi tingkatannya.
Sebenarnya, kesabaran berkaitan erat dengan kesadaran. Jika kita menyadari tabiat kehambaan kita, maka tidak ada alasan untuk tidak sabar. Yang penting untuk kita ingat, sabar akan membuat hidup terasa lebih mudah. Sebaliknya, ketidaksabaran justru akan membuat urusan hidup semakin sulit. Tentu saja, tidak semua orang mampu bersabar karena memang berat. Itulah kenapa Allah sangat menyukai orang-orang yang sabar. Bahkan, Allah befirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Advertisement