Tekanan Menghimpit BPR dan BPRS, Mampukah Bertahan?

BPR dan BPRS menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen UMKM.

oleh Tira Santia diperbarui 17 Sep 2024, 10:30 WIB
OJK melihat adopsi teknologi informasi yang semakin masif berdampak pada perubahan perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, menyebut Bank Pembiayaan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) akan dihadapi dengan tantangan di 2025.

Tantangan tersebut dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global dan domestik. Sehingga industri perbankan dalam negeri juga akan terpengaruh, tidak terkecuali industri BPR dan BPRS.

Menurutnya, adopsi teknologi informasi yang semakin masif berdampak pada perubahan perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS.

Selain itu, BPR dan BPRS juga menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen UMKM.

"Untuk menghadapi perubahan dan tantangan tersebut, BPR dan BPRS diharapkan memiliki ketahanan dan daya saing yang kuat, sehingga dapat mempertahankan kinerja dan eksistensinya," ujar Dian, di Jakarta, Selasa (17/9/2024).

Adapun untuk menghadapi tantangan tersebut pada tanggal 21 Mei 2024, OJK telah menerbitkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS yang didalamnya terdiri dari 4 (empat) pilar utama yaitu penguatan Struktur dan Daya Saing, akselerasi Digitalisasi BPR dan BPRS, penguatan Peran BPR dan BPRS di Wilayahnya, penguatan Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan

"Yang masing-masing pilarnya dijabarkan lebih lanjut dalam serangkaian inisiatif," ujarnya.

Melalui penerapan seluruh inisiatif dalam RP2B 2024-2027, diharapkan dapat mewujudkan industri BPR dan BPRS yang berintegritas dan terpercaya, tangguh, berdaya saing, dan memberikan kontribusi nyata terutama pada daerah atau wilayahnya.

"Untuk itu diperlukan komitmen, sinergi, dan kolaborasi antara BPR dan BPRS dengan seluruh pemangku kepentingan," pungkasnya.


14 BPR Bangkrut di 2024, Bos LPS Beberkan Biangkeroknya

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) siap membayar klaim penjaminan simpanan nasabah PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, Surakarta. (Dok LPS)

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan mayoritas bank perkreditan rakyat (BPR) yang tutup disebabkan karena adanya indikasi penipuan atau fraud.

“Jadi sebagian penyebab utama dari bank BPR jatuh adalah fraud. Bukan karena dampak ekonomi," kata Purbaya, di Jakarta, Rabu (1/8/2024).

Tercatat, hingga Juli 2024 sudah ada 14 BPR yang tutup. Bangkrutnya BPR tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah tahun 2023. Sejalan dengan hal itu, jumlah BPR yang izinnya dicabut juga meningkat, yaitu 6 hingga 7 BPR tutup per tahun.

Melihat perkembangan itu, LPS akan memperkuat pengawasan manajemen BPR di Indonesia. Salah satu upayanya dengan mengembangkan sistem informasi dan teknologi yang akan mendukung operasional BPR.

Lantaran, sejauh ini beberapa BPR belum memiliki sistem informasi dan teknologi yang baik guna mendukung operasionalnya.

“Makanya ke depan kita sedang membuat program yang berhubungan dengan IT, supaya kita bisa melatih manajemen dari BPR-BPR gitu tadi,” ujarnya.


Anggaran Pemulihan Rp 1,2 Triliun

LPS mengambil alih BPR KRI Indramayu setelah OJK mencabut izin usaha. (Istimewa)

Adapun penganggaran oleh LPS untuk pemulihan BPR tahun ini sebesar Rp 1,2 triliun. LPS menyatakan bahwa dalam proses rekonsiliasi dan verifikasi penanganan bank bangkrut juga tidak memerlukan jangka waktu yang lama.

Misal, ketika ada suatu BPR yang izin usaha dicabut OJK, LPS rata-rata dapat membantu dengan pembayaran hingga 80% hanya dalam kurun waktu 5 hari. 

Infografis: Deretan Bank Digital di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya